Gender dan Ekonomi
Perempuan dalam beberapa budaya di
dunia hampir memiliki konteks yang sama. Menjadi kaum nomer dua. Seperti dalam
konteks budaya Jawa, perempuan disebut sebagai “kanca wingking” (teman di dapur) yang berarti perempuan yang
mengurusi masalah rumah tangga. Ada juga ungkapan “swarga
nunut, neraka katut” (ke surga ikut, ke neraka pun terbawa). Maka hal itu
berarti nasibn istri tergantung pada suaminya. Seperti yang terefleksi pada
gambar di bawah, seorang ibu yang mengambil air untuk keperluan rumah tangga.
Pekerjaan rumah dianggap sebagai sebuah kewajiban, hal yang memang sudah
seharusnya dikerjakan perempuan. Ketika sang suami bekerja di sektor luar, maka
sang istri tetap berkecimpung di tempatnya. Di Dapur. Di Rumah.
Pada abad ke 20 perempuan mulai sadar
akan posisi yang selama ini mereka peroleh. Dari dapur ke perusahaan. Itulah
sepak terjang yang dilakukan perempuan sebagai usaha pembuktian kemampuan dan
perannya, perlu dihargai dan dipandang lebih tinggi dari sebelumnya. Bahwa
perempuan, juga dapat mencapai posisi yang ditempati laki-laki. Seperti sosok
perempuan hebat yakni G Karen, direktur utama Pertamina atau perempuan lainnya. Fenomena ini
merefleksikan perubahan image
perempuan. Selain menjadi seorang ibu rumah tangga, perempuan juga dapat
menjadi orang karir yang dapat menjalankan peran dan tugas seperti yang
dikerjakan laki-laki.
Beberapa posisi pekerjaan yang
sebelumnya ditempati laki-laki kini dapat dicapai perempuan. Persaingan pasti
terjadi, entah bentuknya persaingan kecil ataupun besar. Dominasi laki-laki
dalam pembagian kerja mulai merasa terancam. Maka tidak kurang akal, diciptakan
instrumen baru untuk bisa membatasi gerak perempuan agar laki-laki tetap
dominan dalam pembagian kerja. Gambar di bawah ini merefleksikan
pembatasan-pembatasan itu. Dalam maskapai penerbangan, memang menerima
perempuan sebagai karyawannya, tapi tidak semua perempuan. Misalnya, profesi
sebagai pramugari. Seorang perempuan yang ingin menjadi pramugrari harus
memenuhi tinggi badan minimal 165 cm, berat badan sekian cm, berambut panjang,
mau bekerja secara mobile dan
lainnya. tanpa disadari sebenarnya syarat-syarat tersebut adalah sebuah
pembatas untuk melanggengkan dominasi laki-laki dalam pembagian kerja.
***
Gender
telah bermain dalam sendi-sendi kebudayaan manusia termasuk dalam sistem
ekonomi. Pembagian kerja adalah unsur yang tidak bisa dipisahkan dari bentuk
gender yang berlaku dalam sistem ekonomi masyarakat. Sang ayah bekerja mencari
uang dan sang Ibu mengurus rumah. Laki-laki yang bekerja digolongkan melakukan
kegiatan ekonomi karena mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Sedangkan para perempuan mengurus rumah tidak lain karena itu adalah kewajibannya.
Para
ahli ekonomi aliran neo klasik modern mempunyai pandangan bahwa kegiatan
ekonomi tidak ada kaitannya dengan rummah tangga. Meskipun kebutuhan domestik
rumah tangga tidak akan terlepas dari pasar. Pekerjaan dan tindakan yang
dilakukan seorang ibu rumah tangga tidak dikatakan sebagai “kegiatan
ekonomi”. Apa yang dikerjakan seorang
ibu rumah tangga mulai dari merawat anak, menyapu, memasak, berbelanja,
mengurus rumah sering dipandang sebagai kodrati. Sangat normal dan wajar. Pembagian
kerja yang dianggap benar. Pandangan aliran ekonomi neo klasik tersebut sah-sah
saja karena melihat apa yang dikerjakan perempuan dalam rumah tangga sebagai sesuatu
yang alamiah dan hanya memiliki kepentingan domestik (hanya untuk keluarga). Ada
hal yang dirasakan timpang di sini jika menyebut bahwa apa yang dikerjakan
perempuan dalam rumah tangga tidak digolongkan dalam kegiatan ekonomi. Karena
fakta yang ada, perempuan dalam rumah tangga akan terlibat dalam proses
produksi, distribusi dan konsumsi dalam pasar. Selain itu sejak dahulu dalam
pembagian kerja yang jelas dengan laki-laki, perempuan sebenarnya telah memiliki
peran besar dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga hanya saja selalu
diposisikan sebagai subordinat.
Berbalik
pada masa dahulu, kegiatan bekerja untuk pemenuhan kebutuhan keluarga yang
sebenarnya adalah kegiatan ekonomi, justru lebih banyak dilakukan oleh
perempuan. Sejarawan Rosalind Miles mencatat bahwa dalam masyarakat pra sejarah
tenaga kerja perempuan adalah orang-orang yang gigih, terampil, bervariasai dan
pekerja keras. Perempuan pada masa itu menunjukkan bahwa mereka melakukan lima
pekerjaan sementara laki-laki hanya satu hal. Pada abad 17, catatan bangsawan
Newcastle di Inggris melukiskan bahwa perempuan adalah tenaga kerja seperti “monster”.[1] Pada
abad 19 setelah berlangsungnya revolusi industri, datanglah kekuatan baru yaitu
ekspolitasi tenaga kerja yang banyak memanfaatkan perempuan. Di mana saja,
pemimpin perusahaan sepakat bahwa perempuan lebih gampang untuk dimanfaatkan
sebagai tenaga kerja karena perempuan umunya bekerja lebih keras (baik menjadi
karyawan maupun ibu rumah tangga, baik perempuan di Negara Timur maupun Barat)
dan bersedia dibayar lebih rendah. Hal ini jelas membuktikan jika perempuan
dalam pembagian kerja zaman dahulu hingga abad 19 memiliki peran yang besar.
Namun, tetap saja, meski peran yang dilakukan perempuan dalam kerja itu keras
dan besar, posisi yang bisa mereka capai adalah dalam lingkungan domestik tanpa
ada akses lebih luas seperti mengambil keputusan, memerintah atau berkuasa
dalam masyarakat.
Berbeda
dengan era saat ini, setelah kaum feminis memelopori adanya kesetaraan gender,
perempuan (termasuk dalam rumah tangga) telah mengalami perkembangan dalam
akses pembagian kerja. Banyak perempuan menempati mencapai posisi laki-laki
dalam dunia kerja sebelumnya, mulai dari hakim, jaksa, dokter, polisi,
insinyur, manajer dan posisi yang dianggap elit lainnya. Batas-batas pembagian
kerja antara laki-laki dan perempuan semakin tipis. Apa yang dulu dikuasai
laki-laki kini dapat dijangkau oleh para perempuan. Sebaliknya pekerjaan yang
dulu dianggap lingkup kecil seperti pekerjaan rumah tangga kini juga tidak
hanya dilakukan oleh sang Ibu melainkan sang Ayah juga. Maka “kesetaraan
gender” secara tekstual memang telah tercapai baik bagi perempuan maupun
laki-laki. Terlebih yang lebih penting dari itu, ketika perempuan telah mampu
mencapai posisi laki-laki dalam sektor pembagian kerja, kekuasaan dan dominasi
laki-laki agaknya mulai merasa terancam. Sehingga diciptakan tembok-tembok baru
untuk mempertahankan dominasi laki-laki yang telah sejak dahulu dibangun agar sulit
untuk ditembus perempuan.
Dominasi
dan kuasa laki-laki terhadap perempuan telah dibangun sejak dahulu. Seperti
yang telah sedikit disinggung di bagian awal, pembagian kerja bagi laki-laki
bekerja di luar dan perempuan berada di rumah untuk mengurus anak-anak dan
rumah tangga diterima sebagai sesuatu yang sudah semestinya; representasi Tuhan
yang mengacu pada jenis kelamin laki-laki tidak perlu ditanyakan lagi “bahwa
kisah perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki dalam kitab kejadian harus
diterima sebagai wahyu”.[2]
Atau pada saat seorang istri ingin bekerja, melanjutkan pendidikan bahkan saat
akan mengubah penampilanya, ia harus meminta izin kepada suaminya terlebih
dahulu, jika diizinkan ia akan melanjutkan rencananya dan jika tidak dirinya tidak
akan melakukan dan tetap di rumah. Dominasi laki-laki seperti itu berwujud
sebagai “kekerasan simbolis” (=kekerasan tak kasat mata) karena perempuan dalam
hal ini tidak melihat atau bahkan merasakan hal semacam itu sebagai kekerasan
melainkan dirasa sebagai hal yang alamiah dan wajar. Begitu pula saat dirasa
perempuan mulai mendapat banyak akses dan posisi penting dalam sektor kerja,
laki-laki berusaha menciptakan dominasi gaya baru agar tidak dirasakan oleh
perempuan dengan cara semi laten. Cara yang digunakan dalam hal ini adalah seperti mensyaratkan ikatan-ikatan kembali dalam
sebuah pekerjaan, memperoleh surplus energi dan kepercayaan diri rendah
perempuan, menciptakan ideologi yang akan melibatkan pekerja perempuan dalam
struktur mereka, tapi hanya dalam ketentuan yang mereka inginkan. Dari
cara-cara tersebut terlihat bahwa laki-laki ingin melanggenggkan dominasinya
dengan membuat batas-batas tertentu agar tidak mendapat banyak ancaman dari
perempuan. Maka tidak perlu heran jika banyak perusahaan, pabrik, toko hingga
institusi di bawah naungan negara memberikan syarat-syarat tertentu (sebuah
batas) berupa fisik maupun teknis untuk menerima seorang pekerja perempuan,
seperti harus dengan tinggi badan sekian, rambut panjang, berpenampilan
menarik, siap bekerja di luar kota, belum menikah, tidak boleh hamil dan
lainnya.
Dari
serentetan cara yang digunakan untuk menjaga dominasi laki-laki dalam kekuasaan
terlebih dalam hal pembagian kerja, tujuan yang diinginkan adalah agar dapat
meminilamlisir gerak dan tidak mendapat banyak ancaman dari kekuatan perempuan
untuk menembus posisi-posisi dalam kekuasaan mereka. Secara lebih spesifik
hasil yang diharapkan dari pembatsan-pembatasan tersebut adalah seperti yang
diungkapkan Naomi Wolf (2004: 55) harga diri rendah, toleransi terhadap
tugas-tugas yang sangat menjemukan, kurangnya ambisi, tingkat konformitas
tinggi, penghormatan besar terhadap laki-laki (yang mengatur mereka), kemampuan
kecil untuk mengendalikan hidup mereka.
Pada
era modern ini diketahui jumlah presentase perempuan di dunia ini lebih dari
50% yang berarti jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, dan jumlah
jam kerja perempuan juga lebih banyak. Secara kuantitas seharusnya penguasaan
dalam pembagian kerja perempuan semestinya lebih unggul. Memang kesetaraan
gender bagi perempuan dalam pembagian kerja telah diperoleh, berbagai bidang
(pendidikan, politik, hukum) dapat dimasuki, posisi-posisi atas dapat
ditempati, akses kuasa sudah terbuka. Namun, pada realitas yang ada keberadaan
perempuan dalam berbagai bidang terutama dalam pembagian kerja tetap
diposisikan (diatur) oleh laki-laki. Meski dari luar perempuan terlihat
dihargai tak ubahnya tetap sebagai pihak kedua (bahkan dalam beberapa kasus
menjadi objek) hanya saja lebih dipandang keberadaan dan potensi dari
sebelumnya. Hal tersebut tetap terjadi meski kaum feminis di seluruh penjuru
dunia telah berjuang, suara feminisme telah digaungkan besar-besaran sejak
beberapa windu lalu dan kesadaran akan kesetaraan gender juga kurang lebih
telah diketahui masyarakat dunia. Sekali lagi, tetap saja perempuan mendapat
posisi terbatas, gerak perempuan berada di bawah sebuah dominasi laki-laki. Salah
satu alasan kuat yang menjadikan hal di atas tetap terjadi, karena mau tidak
mau sebuah sistem besar yang ada dalam masyarakat, beberapa dibuat atas dasar
kepentingan laki-laki telah tersusun sedemikian rupa secara rapi, telah dilembagakan
kepada seluruh lapisan masyarakat dan terus diberi lapisan agar tetap bertahan.
Sehingga sampai saat ini bisa mengatasi serangan dan tuntutan perempuan. Selain
itu yang lebih hebat, masih mampu menggerakkan masyarakat terutama kaum
perempuan untuk terus mengikuti kerja yang ditetapkan sistemnya.
“Jangan berperang melawan laki-laki. Hal itu justru
merupakan cara dia untuk memenangkan nilainya. Menyangkal untuk menegaskan
diri. Membunuh untuk hidup. Cukup kita kurangi isi nilai-nilainya dengan menertawakannya”
(Annie
Leclrec)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussaya sepakat bahwa aktivitas ekonomi bukan hanya di luar melainkan juga menyangkut pada tatanan sosial terkecil yaitu keluarga.
BalasHapusEra dimana laki-laki lebih layak untuk memegang kuasa pekerjaan di luar. pada dasarnya efek dari tekhonologi saat itu, saat-saat dimana tekhnologi cenderung masih berkutat pada kekuatan fisik. perbedaan anugrah dari Tuhan tentang perempuan yang lebih sibuk dengan urasan hamil, dan menstruasi, membuatnya tidak memilki tempat untuk pekerjaan di luar rumah. berbeda dengan saat ini, seperti setelah revolusi di amerika atau rusia. sebuah fakta bahwa kebudayaan juga erat kaitannya dengan masalah tekhnologi.
tapi juga perlu di ingat bahwa konstruksi sosial dibangun atas beberapa strategi, dan tidak luput pula pada kasus tentang kesetaraan gender.
tulisan ini misalnya atau yang lain, yaitu strategi-strategi yang justru diwacanakan untuk eksploitasi besar-besaran terhadap tenaga perempuan di pasar. hingga peradaban ini runtuh karena kurangnya tenaga di sektor domestik, untuk mengurus generasi mudanya.
orasi ta komen bang.. so long_
BalasHapustulisan ini tidak dimaksudkan sebagai wacana untuk ekploitasi besar-besaran thd perempuan, tapi coba membisikkan agar perempuan tetap sadar ada tembok hegemoni yang diciptakan laki-laki bgi perempuan yang sudah bisa menunjukkan sepak terjangnya