Resiprositas Umum
Rewang: Resiprositas Umum dalam
Masyarakat Desa
Individu-individu
beraneka ragam yang berkumpul di suatu wilayah akan menjadi masyarakat. Terbentuknya
individu yang berkumpul hingga menjadi suatu masyarakat bukan tanpa sebab. (Kimbal
Young dan Raymond, W : 1959) mengutarakan bahwa interaksi sosial merupakan
kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan
mungkin ada kehidupan bersama.[1] Interaksi yang terjadi dalam masyarakat
meliputi beberapa bidang kehidupan seperti
sosial, agama, ekonomi dan lainnya. Dalam bidang ekonomi secara umum dikenal
dua pola kegiatan ekonomi yaitu kegiatan ekonomi pasar dan non pasar. Kegiatan
ekonomi pasar sederhananya dapat dikatan kegiatan tukar-menukar/jual-beli yang
di dalamnya menitik beratkan pada permintaan dan penawaran yang disertai alat
tukar seperti uang. Sedangkan menurut Karl Polanyi pada beberapa masyarakat
terdapat juga kegiatan ekonomi non-pasar yakni kegiatan tukar-menukar barang
atau jasa yang di dalamnya menitikberatkan pada aspek sosial-ekonomi. Polanyi (1968)
mengklasifikasi kegiatan ekonomi terbagi menjadi resiprositas, redistribusi dan
pertukaran pasar.
Sahlins
membagi jenis resiprositas menjadi tiga macam: resiprositas umum (generalized reciprocity), resiprositas
sebanding (balanced reciprocity),
resiprositas negatif (negative
reciprocity). Klasifikasi ini didasarkan pada harapan atau motif yang ingin
diperoleh para partisipan dalam melakukan transmisinya.[2]
Dalam pembahasan ini hanya akan mengulas resiprositas umum beserta sedikit
ulasan mengenai transformasi bentuknya saat ini.
Kegiatan
ekonomi non-pasar berupa resiprositas sampai saat ini masih dapat ditemukan
dalam tipe masyarakat baik kota, desa, industri, tradisional atau kesukuan (tribal) dalam bentuk yang berbeda-beda. Pada
masyarakat pedesaan khususnya daerah Jawa Timur (bagian tengah) dikenal dengan istilah
rewang/biodo yang dapat dijadikan
contoh bentuk resiprositas. Rewang
adalah kegiatan membantu tetangga ketika tetangga tersebut sedang melaksanakan
hajatan atau acara keluarga seperti selamatan, kenduri, khitanan (sunatan) atau
pernikahan. Biasanya para tetangga mempunyai kesadaran sosial untuk membantu
orang yang berhajat tadi. Biasanya beberapa orang yang rumahnya berdekatan
dengan si empunya hajat akan berdatangan ke rumahnya untuk membantu memasak
atau membuat kue beberapa hari sebelum hari H. Tetangga yang rewang terdiri
dari laki-laki dan perempuan. Untuk para laki-laki membantu menata perabotan
(menata kursi, meja, menebangi pohon), untuk para wanitanya membantu memasak,
membuat kue dan lain sebagainya. Rewang secara lebih spesifik dapat digolongkan
ke dalam resiprositas umum. Hal ini dikarenakan dalam rewang terdapat beberapa unsur yang masuk dalam karakteristik
resiprositas umum. Pertama, motif rewang
bersifat moralis karena berdasar pada kewajiban, keterikatan jiwa dan menjaga
solidaritas sosial. Jika ada salah satu tetangga yang tidak rewang maka akan merasa bersalah karena
tidak bisa melaksanakan kewajiban sosianyal, selain itu akan timbul rasa sungkan pada tetangganya yang memiliki
hajat. Selain itu ketentuan membalas jasa hanya pada waktu tetangga memiliki
hajat. Kedua, balas jasa rewang terjadi
dalam periodisasi yang lama, tetangga yang pernah rewang akan menunggu balas jasa rewang tetangga yang dulu pernah
dibantu, begitu pula sebaliknya. Ketiga, hubungan antar tetangga di desa
terjalin secara lebih personal meskipun biasanya tidak mempunyai hubungan
darah. Beberapa penyebab ini terjadi karena mereka sering berinteraksi
langsung, bangunan rumah tidak terhalang pagar mati, sering bertukar makanan
dan komunikasi verbal lain.
Resiprositas
umum di masyarakat pedesaan menjadi kebenaran yang tidak boleh dilanggar. Hal
ini berarti jika ada tetangga yang tidak bisa rewang atau membalas jasa rewang
yang pernah diterima maka gunjingan atau omongan dari tetangga sekitar akan
memainkan fungsi kontrol sosialnya dalam masyarakat tersebut. Namun, yang perlu
dijadikan catatan tidak ada sanksi hukum jika seseorang tidak dapat melakukan
timbal balik dengan baik dalam resiprositas umum ini.
Rewang,
saat ini sudah mengalami perubahan pola dari sebelumnya.
Setahun lalu saya melihat seorang ibu
di desa saya yang akan mengadakan hajat khitan putranya mendatangi beberapa
tetangga yang rumahnya masih tergolong dekat. Kedatangan ibu tersebut bermaksud
meminta tolong agar nanti saat akan melangsungkan hajatnya dibantu di bagian
dapur untuk menanak nasi dan membuat kue. Setelah terlaksana dan acara berakhir
tetangga yang tadi rewang diberi uang sebesar Rp. 50.000,-.
Fenomena
seperti ini menggambarkan dengan jelas bahwa resiprositas umum mengalami
transformasi pola. Jasa yang disumbangkan dalam rewang sudah dihargai tidak hanya dengan balas jasa tapi juga
dengan materi berupa uang. Adanya transformasi pola itu tentu disebabkan
masuknya pengaruh pasar (uang) dalam masyarakat pedesaan. Masyarakat sudah
mengenal budaya materi berupa uang. Pengaruh uang menjadi tangan rahasia (invisible hand) yang tidak disadari
pengaruhnya oleh masyarakat. Uang menjadi hal yang paling krusial dalam
kehidupan saat ini. Sehingga rasa empati pembalas jasa seperti rewang juga dirupakan uang. Meskipun
faktor uang tidak secara drastis mengubah pola tapi terdapat beberapa
karakteristik resiprositas umum yang bergeser dari sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar