Diskriminasi Penduduk Pribumi dalam Tata Wilayah Kota Malang


Malangkuceswara yang berarti bangunan suci merupakan hipotesa dari para ahli atas asal usul nama Malang. Malang adalah sebuah daerah yang terletak di provinsi Jawa Timur dengan nuansa alam pegunungan dan pantai di sebelah utara. Kondisi alam dan iklim yang relatif sejuk menjadikan Malang dikenal sebagai daerah wisata. Secara administratif Malang dibagi menjadi dua bagian yakni Kota Malang dan Kabupaten Malang. Kota Malang memiliki beraneka julukan seperti kota wisata, Paris van East Java, kota bunga, kota pendidikan, kota kuliner, kota apel dan kota sejarah. 

Julukan sebagai kota sejarah disandangkan pada kota Malang karena kota ini menyimpan misteri embrio tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar seperti Tumapel, Kanjuruhan, Singosari, Kediri (Dhoho), Mojopahit, Demak dan Mataram. Di kota Malang juga terukir awal kemerdekaan Republik bahkan kota Malang tercatat masuk nominasi akan dijadikan Ibukota Negara Republik Indonesia . Sebagai kota sejarah Malang juga terlibat menjadi daerah penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa pemerintah kolonial Belanda kota Malang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pembangunan diberbagai sektor dilakukan, seperti pembangunan fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Hal ini tentu saja memberi kesan diskriminatif bagi penduduk pribumi. Jejak-jejak itu masih dapat dilihat saat ini meskipun banyak juga yang telah hilang. Misalnya di kawasan Ijen Boulevard dan sekitarnya. Bekas-bekas rumah mewah dan infrastruktur yang ada di sekitarnya dapat dilihat pada saat ini ketika melintasi jalan Ijen kota Malang.

Secara umum pada masa 1800-1900 penataan kota masih seperti konsep Indonesia (Jawa). Alun-alun dijadikan sebagai titik sentral (civic center) dari segala aktivitas kolonial dan rakyat didirikan di tengah-tengah kota. Beberapa bangunan penting seperti kantor Asisten Residen, kantor Bupati, penjara dan bangunan keagamaan berada mengelilingi alun-alun. Penataan seperti ini memang khas digunakan pada masa itu penjajahan pemerintah kolonial hingga sampai saat ini tetap digunakan. 
Pemerintah kolonial di malang (1914) mengembangkan pola tata ruang yang berbeda pada umunya. Pola yang digunakan adalah pola grid sebagai pengaruh dari gaya arsitektur kolonial. Pola grid diberlakukan dengan pertimbangan karena lebih tertata, efisien, ekonomis dan segi sirkulasi keluar masuk baik sehingga terhindar kemacetan. Pola dan peletakan bangunan di wilayah Ijen boulevard dan sekitarnya terstruktur dengan baik. Pembangunan ini tentu tidak terlepas dari pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu berkuasa. Mereka adalah walikota pertama Malang H.I Bussemaker (1919-1929) dan Ir. Herman Thomas K.
  
Pola pemukiman sendiri diatur dengan pola aglomerasi yang terkesan diskriminatif. Pada era penjajahan memang dikenal adanya pembentukan lapisan sosial yang sengaja disusun (orang Belanda, etis Tionghoa dan pribumi). Bernard mengutarakan bahwa lapisan sosial yang sengaja disusun ditujukan untuk mengejar suatu tujuan tertentu . Tujuan pokok adanya lapisan yang sengaja disusun ini dimaksudkan agar menjadikan orang Belanda memiliki kekuasaan dan dihormati (secara image) oleh kelompok masyarakat lain. Orang-orang Belanda tinggal didekat pusat pemerintahan dan jalan-jalan yang dapat memberikan akses ekonomi tinggi. Orang Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang perantara (di bawah kontrol pemerintah Belanda) tinggal didekat pasar. Sedangkan orang-orang pribumi tinggal di gang-gang sekitar daerah alun-alun atau daerah kampung Kebalen, Penanggungan dan Klojenlor yang relatif jauh dari pusat kota. 
Gambar : Tata Pemukiman kota pada zaman dahulu (sumber: staadgement Malang). 

Gambaran lain yang mencerminkan diskriminasi area pada zaman dulu adalah pada bagian Barat kota terhampar sebuah kawasan elite yang dulunya adalah tempat tinggal orang Belanda. Nama-nama orang Eropa seperti Anno 1320, Eleanor Ellisabeth di depan-depan rumah kawasan Ijen masih bisa ditemukan sampai saat ini. Selain itu di kawasan elit ini pula terdapat Boulevard ijen (arena pacuan kuda) yang pada waktu itu terkenal bagus sampai ke luar daerah. Pohon palem berjajar di kedua sisi jalan Ijen, pedestrian, jalan, bangunan dan fasilitas tertata rapi. Namun, fasilitas yang bagus itu hanya sering dinikmati oleh orang Belanda. Fasilitas tersebut seperti Biskop (nama bioskop pada kala itu), arena pacuan kuda, taman, lembaga pendidikan malah jarang yang bisa mengenyam pendidikan, gereja yang megah dan akses mudah ke stasiun. Sedangkan para penduduk pribumi harus puas dengan fasilitas-fasilitas yang ada dipinggiran kota. Fasilitas sederhana yang jauh sekali bila dibandingkan dengan yang ada di kawasan Ijen. Bahkan untuk mencari hiburan saja penduduk pribumi hanya bisa menikmati hiburan lokal seperti Jaranan (performance art) dan tarian lokal. Dari sejarah dan bukti otentik yang masih ada dapat diambil sebuah pengertian. Diskriminasi yang dilakukan penjajah kolonial Belanda terhadap penduduk pribumi bukan hanya berupa perlakuan dalam struktur sosial sehingga menciptakan stratifikasi sosial atau sikap semena-mena seperti membayar pajak, kerja paksa saja namun diskriminasi area juga dilakukan. Padahal jelas wilayah kota Malang adalah milik penduduk pribumi, tapi adanya kekuasaan penjajah mengambil alih semuanya. Dimana pun penduduk pribumi dalam keadaan terjajah akan termarginalkan di atas tanah mereka sendiri. 



Referensi 
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
http://www.malangkota.go.id (diakses pada 17 April 2013).
http://www.vikhramaditya.blogspot.com/2012/02/tataruang-pada-kawasan-ijen-boulevard.html (diakses pada 17 April 2013).
Film History of Malang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori-Teori Asaz Religi

Teori Evolusi Kebudayaan Part I

Pendekatan Studi Media & Antropologi Media