Gayatri Rajapatni
Permpuan dibalik Kejayaan Majapahit
(Dari Buku Emile Drake)

Prajnaparamitha
Saya tahu buku ini saat ada bazar buku tahun lalu yang diadakan oleh himpunan mahasiswa tempat saya belajar. Saat itu buku ini masih bersegel dan hanya bisa membiarkan hati saya tertarik oleh sampulnya, sampai pulang dengan sangat cantik gambar arca Prajnaparamitha terus membanyangi pikiran. Akhirya buku ini tak hanya menjadi bayangan saja, saya bisa membaca buku ini, meski dari pinjaman salah seorang teman. Mungkin banyak hal yang saya sukai dalam hidup ini, dan masuk salah satu daftar teratas adalah tentang pengetahuan sejarah. Dulu jurusan kuliah yang diambil Ayah adalah Kewarganegaraan, namun tiadak hanya PKN yang diajarkan, beliau juga menjadi seorang guru sejarah di SD dan kakak saya memilih jurusan sejarah untuk S-1nya. Mungkin saya terpengaruh oleh mereka, namun serasa saya tidak hanya sekedar terpengaruh, saya benar-benar menemukan sejarah dalam hati saya. Seperti  penulis buku ini, Emile Drake saya adalah seseorang yang tersihir dengan keagungan sejarah klasik Indonesia. Saya bukan sarjana jurusan sejarah, tapi saya bisa tertegun jika melihat arca dan relief, saya lebih suka diajak jalan-jalan ke candi dari pada ke mall, saya merasa segar mendengar sejarah terlebih sejarah kerajaan, dan saya bermimpi bisa menemukan dan memahami lontar-lontar kuno, baik dari sisi terang maupun gelapnya. Kali ini senang bisa menemukan buku yang ingin berbicara sejarah dari sisi yang jarang disentuh oleh karya-karya tentang sejarah pada umumnya.

Entah buku ini dapat dikatakan seberapa ilmiah dalam penulisan dan validasi datanya, yang jelas buku ini adalah kombinasi dari data sejarah dan imajinasi penulis yang dapat diikuti penuturannya dengan ringan dan mengalir. Maka saya akan mencoba ikut menuturkan kembali isi dalam buku ini. Perlu ditekankan bahwa buku ini bukan sekedar bualan, di dalamnya ada epos dan imajinasi penulis yang bekerjasama dengan baik dalam membentuk citra sang perempuan agung dibalik kejayaan Majapahit, yang pernah melakukan kejahatan karena situasi itu harus dipilihnya, yang tidak segan mengakui dosanya dan berniat untuk mensucikan diri, yang keberadaannya telah menjadi kehendak agung (Negarakertagama;48-49), Gayatri Rajapatni.

Lahir pada tahun 1274, Gayatri bergelar Dyah Dewi Gayatri Kumara Rajasa adalah putri keempat dari Raja Kertanegara Singhasari. Tribuwana, Jayendradewi, Dyah Duhita adalah nama kakak-kakanya. Sebelum kemelut dari Kediri dan dataran Cina, Gayatri telah tumbuh menjadi putri kerajaan yang cantik mewarisi kecantikan neneknya Ken Dedes. Ia tertarik dengan berbagai ceritera dan seni kepemerintahan. Gayatri berusaha memahami kebijakan-kebijakan yang dibuat Ayahnya, bahkan seperti tidakan kontroversial yang dilakukan sang Ayah mengenai ritual tantra yang tidak sedikit orang menghujat hal tersebut. Hingga pada saat awan gelap itu tiba, Singhasari digempur oleh saudaranya sendiri, kerajaan Kediri. Benteng pertahanan hancur, istana diobrak-abrik dan Sang raja meninggalkan putri-putrinya di dunia yang hancur itu.  Entah bagaimana sebenarnya yang terjadi, Gayatri dan semua saudaranya bisa selamat dari peristiwa itu, meski ada salah satu dari mereka harus menderita trauma mental.

Diceritakan setelah peristiwa itu, Gayatri dilarikan ke keraton Kediri. Menetap di sana dan menyimpan kepercayaan bahwa cahaya akan kembali menerangi kehidupannya. Kisah cinta Gayatri akan segera dimulai. Pada pelaksanaan strategi awal, dengan tidak sengaja Gayatri bertemu dengan Raden Wijaya. Dalam pertemuan singkat itu mereka saling bertatapan, memahami arti tatapan itu untuk tidak khawatir dan membangun keyakinan akan kemenangan yang akan diperoleh setelah keadaan huru-hara Singhasari, Gayatri pun tak akan pernah melupakan kata-kata Raden Wijaya, “agar tetap menunggunya, berkeyakinan akan kemenangan dan membawanya keluar bersama dirinya dengan kemenangan dari Kediri”. Dengan strategi cerdik dan berbagai bantuan dari tentara Mongol, Aryawiraraja akhirnya Raden Wijaya dapat mengalahkan Kediri, tidak terduga ternyata kakak Iparnya itu tidak hanya berhasil menyelamatkan dirinya, saudara-sudaranya dan sisa-sisa kerajaan Ayahnya namun ia juga menjadi utusan cahaya yang selama ini Gayatri yakini kedatangannya.  

Kediri telah lumpuh, dan sebuah keraton yang akan bersinar didirikan di hutan terik Mojokerto. Cita-cita Ayahnya, sang Raja Kertanegara masih diingat betul oleh Gayatri. Membuat hubungan baik dengan daerah lainya, menyandingkan berbagai agama dan kepercayaan dalam kedamaian dan menyatukan negeri yang luas di dalam kesejahteraan. Cita-cita itu rupanya juga dimiliki sang kakak ipar Raden Wijaya, hal itu rupanya membuat Gayatri menjadi sangat bahagia karena keinginan untuk mewujudkan cita-cita luhur Ayahnya juga dipahami oleh seseorang yang kini dianggapnya sebagi utusan cahaya itu. Maka Gayatri dengan yakin menerima cinta dari sang kakak ipar-Raden Wijaya, seorang laki-laki seperti tokoh panji dalam dongeng indah yang diingat pada masa kecilnya, utusan cahaya yang diyakini kedatangannya dan sosok yang memiliki cita-cita sama seperti dirinya untuk membangun kembali sebuah kejayaan.

Raden Wijaya sepenuhnya naik tahta dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana, maka Gayatri juga sepenuhnya bergelar Gayatri Rajapatni (Gayatri Istri sang Raja). Keduanya menikah dengan damai dan sambutan hangat rakyat, Tribuwana kakak pertama Gayatri yang merupakan istri pertama Raden Wijaya telah memberi restu dan berbahagia dengan peristiwa itu, sementara dua kakak Gayatri lainnya juga dinikahi Raden Wijaya. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan kehormamatan mereka karena peristiwa penghancuran Singhasari telah membuat bekas tidak baik dalam kehidupan kakaknya tersebut.

Raden Wijaya dan Gayatri bersama-sama menjalanakan kerajaan yang baru lahir itu dengan keyakinan cita-cita yang mereka berdua  miliki. Kerajaan baru itu berjalan dengan berbagai ganjalan. Pemberontakan Aryawiraraja, dan berbagai daerah siap menjadi ganjalan perjalanan baru itu. Sejarah memang tidak pernah mencatat peran-peran nyata Gayatri untuk Majapahit. Dari suaminya ia belajar kembali dan mempraktekkan ilmu seni keperintahan yang pernah ia dapatkan. Dan Gayatri ikut berpengaruh dalam pengambilan keputusan sang Raja meski dari balik singgasana. Dalam kehidupan pribadinya, ada sedikit hal yang mengganggu Gayatri tentang pernikahan yang tidak bisa dihindari suaminya dengan Dara Petak bergelar Indreswari, putri Melayu yang dikirimkan oleh kerajaan dari Melayu sebagi bentuk hubungan diplomasi. Dari pernikahan suaminya dengan Dara Petak, melahirkan anak laki-laki-Jayanegara yang menjadi putra mahkota. Jayanegara memang pantas mendapatkan posisi tersebut, namun, perangainya yang kasar dan kurang baik hasil didikan ibunya yang sering menghasut itulah yang menjadikan Gayatri kurang menyukaikeadaan Jayanegara, hal ini pada akhirnya akan terbukti di masa depan. Sementara itu Gayatri melahirkan dua putri cantik bernama Tribuwana Tunggadewi (sengaja disamakan dengan nama kakak pertamanya) dan Rajadewi.

Pada akhirnya, Gayatri harus mengambil pengaruh cukup besar setelah suaminya meninggal. Gayatri tidak bisa menafikan, bahwa Jayanegara berhak dinobatkan menjadi Raja dalam usia yang sangat muda karena kematian Raden Wijaya diusia yang bahkan belum mencapai 50 tahun itu. Tribuwana diberi kekuasaan untuk menjadi Bhre Kahuripan dan Rajadewi adiknya, menjadi Bhre Kediri. Dalam usia muda kepemerintahan Jayanegara di Majapahit kurang stabil. Ia mengubah struktur pejabat kerajaan, banyak pemberontakan terjadi dan strategi yang kurang tepat seperti memimpin di medan pertempuran langsung, padahal tidak hanya terjadi satu pertempuan dalam satu waktu. Selain itu banyak pejabat kerajaan yang mencoba untuk memanfaatkannya. Hal yang sangat tidak bisa diterima oleh Gayatri adalah niat Jayanegara untuk menikahi kedua putrinya, pernikahan yang diniatkannya itu tentu bukan suatu niat yang mulia. Sangat jelas bahwa ia ingin membatasi kekuasaan saudara-saudaranya dan menyiksa mereka dengan mengurungnya di istana. Gayatri tidak bisa menerima titah raja yang satu ini, terlebih menerima kehancuran kerajaan jika kepemerintahan Jayanegara terus dilakukan. Keadaan ini membuat Gayatri harus mengambil tindakan untuk menghabisi Jayanegara, dengan menghasut orang terdekat Jayanegara, Gayatri telah membunuh Jayanegara secara tidak langsung saat sang Raja muda itu sedang terbaring sakit.

Orang yang paling tepat untuk memimpin di saat kerajaan genting seperti itu tentu adalah Gayatri. Namun, ia berpikir bahwa hal itu tidaklah tepat dilakukan karena bangsawan dari Kediri tidak mungkin menerimanya karena ia berdarah Singhasari, bahkan mungkin akan memberontak pada Majapahit jika itu terjadi. Maka ia berpikir bahwa putrinyalah, Tribuwana, yang darah dan garis keturunannya bisa diterima karena ia adalah anak Raden Wijaya yang sangat mereka hormati dan darah Singhasarinya tidak terlalu dekat. Akhirnya, dari keputusannyalah seorang perempuan menjadi puncak yang paling dijunjung dalam kerajaan Majapahi masa itut. Ratu Tribuwana Tunggadewi naik tahta Majapahit. Gayatri tentu tidak membiarkan anaknya memerintah dengan lemah, ia merekrut Gajahmada sang rakyat biasa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang ia yakini bisa mendampingi kepemerintahan Tribuwana. Gayatri juga selalu berada di belakang anaknya dalam kepemerintahan, membantu Tribuwana untuk tetap selalu mempertimbangkan usulan Gajahmada yang sering kali tepat namun dengan cara agak frontal. Gayatri membantu anaknya untuk tidak mengabaikan tabiat cerdas dan baik Gajahmada, namun juga selalu mengingatkan agar tidak terlarut dengan karakter keras patihnya tersebut dalam memerintah. Ia mengajari anaknya untuk tetap mempertimbangkan Gajahmada dan pejabat kerajan lain namun tetap memegang kendali dan keputusan. Berbagai pemberontakan pejabat kerajaan sebelumnya berhasil padam, wilayah Majapahit semakin meluas dan kemajuan Majapahit mulai terlihat. Kemajuan Majapahit ini semakin cemerlang ketika Tribuwana melahirkan Putra Mahkota bernama Hayam Wuruk dari pernikahannya dengan pangeran Wengker. Hayam Wuruk tumbuh dan mendapat pendidikan yang baik di dalam kerajaan. Seperti tidak diragukan lagi bahwa ia akan bisa menjadi penerus yang menjanjikan bagi Majapahit. Setelah melihat pertumbuhan baik Hayam Wuruk dan berpesan masa depan Majapahit selanjutnya berada di tangan sang cucu dengan segala apa yang pernah ia ajarkan pada Tribuwana, Gayatri merasa ia harus mulai mengembalikan hidup dalam kedamaian dan undur dari kehidupan duniawi. Gayatri memutuskan untuk menjadi seorang Bhiksuni di usia senjanya.

Setelah Tribuwana turun tahta digantikan Hayam Wuruk, seperti yang diharapakan Gayatri, Majapahit mencapai masa kejaayaan di nusantara. Cita-cita Kertanegara adalah cita-cita kemakmuran dan kejayaan suatu kerajaan-bangsa yang berusaha diwujudkan Gayatri dengan keturunannya akhirnya dapat tercapai. Gayatri meninggal di tahun 1350. Dalam Negara kertagama diceritakan bahwa Raja Hayam Wuruk amat menjunjung leluhurnya, neneknya sang Rajapatni. Pada waktu kematian Gayatri Majapahit begitu sendu, selurah rakyat dan keluarga kerajaan melakukan penghormatan terhadap Gayatri. Sang Raja membuat tempat pemujaan di mana-mana, penghormatan selalu dilakukan pada  bulan Badhra, larung saji dilabuhkan di lautan untuk mensucikan Gayatri, sang Prajnaparamitha. Gayatri dianggap sebagai Prajnaparamitha, Dewi yang sangat disukai dalam sembah dikehidupannya. Prajnaparamitha adalah Dewi Kebijaksanaan, Dewi Budhis yang memiliki kekuasaan tertinggi sejagat yang mengana dengan sendirinya, Ibu universal dan musabab pertama.

Gayatri ada dibalik kejayaan, namun sekalipun namanya tidak pernah ditulis dengan tinta emas dalam berbagai tulisan sejarah modern ini. Saya pribadi menyayangkan banyak sosok berperan namun tak pernah diungkap dalam sejarah. Memang sejarah adalah milik yang berkuasa, namun untuk menjadi kisah dan jejak yang bisa dibuat pelajaran tentu bukan hanya ekonomi dan politik yang terus dituliskan. Karena kemajuan tidak hanya berkutat pada hal besar itu. Banyak hal kecil  namun utama tidak terlihat berada dibalik hal besar dan ada baiknya sejarah melihat wujud-wujud seperti ini juga. Seperti pada Gayatri, tentu bukan perempuan biasa yang dirinya dianggap sebagai wujud dari Prajnaparamita oleh orang-orang yang hidup pada masanya. Kini, arca Prajnaparamitha telah banyak dibuat ulang dan berada di beberapa museum dunia. Arca aslinya sekarang ada di Belanda, dan saya juga ingin melihatnya secara nyata, wajah menyejukkan dari pancaran sang dewi, pancaran perempuan yang ada dalam rantai kejayaan Jawa Dwipa. 



Referensi
Drake, Emile. 2012. Gayatri Rajapatni. Yogyakarta: Ombak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori-Teori Asaz Religi

Teori Evolusi Kebudayaan Part I

Pendekatan Studi Media & Antropologi Media