Teori-Teori Asaz Religi
TEORI-TEORI
MENGENAI ASAZ RELIGI
A. Tiga Pendekatan Terhadap Azas Religi
Banyak ahli
berusaha mencari azas-azas religi dan memecahkan masalah awal mula religi
banyak dilakukan pada masyarakat yang dianggap primitif pada masa itu. Teori
E.B Taylor dan J.G Frazer yang mencoba menganalisa asal mula religi menjadi
pangkal munculnya pandangan ini. Secara umum ada dua hal pokok yang dijadikan
para ahli untuk menganalisa Asal mula religi dapat di golongkan pada dua hal
yaitu berdsarkan teori jiwa (Taylor) dan teori ilmu gaib sebagai sikap terhadap
adanya kekuatan-kekuatan gaib (Frazer). Sedangkan menurut Koentjaraningrat
(1980: 58) ada tiga golongan teori yang digunakan oleh para ahli dalam
menganalisa religi:
1.
Teori-teori
dengan pendekatan yang orientasinya keyakinan religi (seperti: a.l. A. Lang,
R.R Marret dan A.C Kryut)
2.
Teori-teori
dengan pendekatan yang orientasinya sikap manusia terhadap hal gaib (seperti:
R. Otto)
3.
Teori-teori
dengan pendekatan yang orientasinya pada upacara religi (seperti: W. R. Smith,
K. Th. Preusz, R. Herz dan A. Van Gennep).
B. Teori-teori dengan Pendekatan yang Berorientasi pada
Keyakinan Religi
Semua teori yang
akan kami jelaskan di bawah mempunyai keyword
yang sama untuk titik landasan konsepnya yakni berawal dari sebuah
keyakinan religi.
· Teori Dewa
Tertinggi Andrew Lang
Pada akhir abad
19 banyak cendekiawan Inggris yang tertarik akan hal-hal gaib namun berbeda
dengan lainnya Lang adalah sastrawan Inggris yang tidak percaya akan hal itu
dan mencoba mencari keterangan rasional yang dapat menjelaskan gejala-gejala
gaib. Menurut Lang dalam jiwa manusia ada kekuatan (disebut kemampuan) yang
bekerja lebih kuat dari pada aktivitas pikiran manusia yang rasional. Selain
itu adanya kemampuan gaib dalam masyarakat sederhana itu dipengaruhi juga oleh
lingkungan sekitar yang pemasalahan hidupannya belum terlalu kompleks. Maka
dari itu gejala-gejala gaib lebih kuat pada orang-orang yang pikirannya kurang
aktif seperti orang primitif dari pada orang eropa yang hidupnya sering
didasarkan pada pemikiran rasional. Kemampuan gaib seperti pada manusia
sederhana zaman dahulu itu menyebabkan timbulnya konsep jiwa bukan dari
kekuatan penggerak kehidupan (hidup-mati) dan bayangan diri manusia dalam mimpi
seperti teori yang diajukan Taylor.
Kemampuan gaib yang kuat terdapat pada pikiran
masyarakat primitif banyak tergambar dalam folklor dan mitologi bangsa-bangsa
di dunia seperti keyakinan bangsa Bushman, penduduk asli Australi, penduduk
pegunungan Tengah Irian Jaya dan sama sekali tidak ada pengaruh dari agama
samawi. Jiwa mereka mempunyai keyakinan pada dewa tertinggi pencipta dan penjaga
alam semesta beserta segala isinya. Maka berdasarkan hal itu Lang berkesimpulan
bentuk religi manusia tertua adalah kepercayaan pada dewa tertinggi yang
selanjutnya termarginalisasi oleh keyakinan kepada mahluk halus, dewa-dewa
alam, roh nenek moyang dan lain-lain. Secara linier teori A. Lang dapat digambarkan
sebagai berikut:
kemampuan gaib
dalam jiwa-> konsep Jiwa-> keyakinan dewa tertinggi (bentuk religi)->
keyakinan animisme, ilmu gaib.
· Teori Kekuatan
Luar Biasa R. R Marret
R. R Marret
menentang konsep jiwa yang diajukan oleh Tylor, menurutnya asosiasi proses
berpikir sebagi penggerak kehidupan dan mimpi adalah hal yang terlalu abstrak
untuk manusia purba kala itu. Konsep mana
atau keyakinan terhadap kekuatan gaib yang ditemukannya pada masyarakat
Melanesia menjadi asal pengembangan dari teori Marret sendiri bahwa pangkal
religi berasal dari emosi gaib (menurut hemat kami mungkin adalah emotional
(EQ)) atau getaran jiwa yang timbul dari kekaguman manusia terhadap
gejala/kekuatan luar biasa yang ada di alam (alam gaib) sehingga alam dianggap
memiliki kekuatan supernatural. Kekuatan luar biasa berada pada gejala alam/hal
yang luar biasa, manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda yang luar biasa.
Secara lebih ringkas dapat di ilustrasikan sebagai berikut:
Kekaguman
terhadap hal yang luar biasa pada alam gaib-> timbul keyakinan/emosi
keagamaan-> praeanimism (percaya terhadap segala hal yang dianggap luar
biasa) yang sudah dianggap bentuk religi -> animisme (percaya terhadap
mahluk halus/roh nenek moyang).
· Konsep Animisme
dan Spiritisme A.C Kryut
Konsep animisme
yang diajukan Kryut adalah kepercayaan pada kekuatan gaib serupa dengan mana (konsep Marret) berupa zat halus
penggerak kehidupan yang disebutnya dengan kata zielestof. Zielestof ini bisa berada pada bagian tubuh manusia
(seperti: kepala, rambut, kuku, gigi, air ludah, air seni dll), binatang
(seperti: kunang-kunang, ular, kupu-kupu, jenis binatang besar dll), tumbuhan
(seperti: padi, karet, nyiur,kampar) dan benda pusaka (seperti: periuk, besi,
batu dan belangga). Zat-zat halus ini bisa berpindah dari satu medium ke medium
lainnya (inkarnasi) sebagai sistem animisme.
Kepercayaan pada
mahluk halus yang hidup di sekeliling mereka dan di dunia lain juga ada, manusia
kala itu meyakini bahwa mahluk halus
tersebut ada yang baik dan ada yang jahat. Hal itu disebut oleh Kryut dengan spiritisme. Animisme dan spiritisme ini
meiliki sebuah korelasi dari system religi animism ke spiritisme.
Masyarakat Communistich[1]
(zielestof)-> manusia pendukung zielestof meninggal (animisme)->
individual, sistem religinya juga ikut
mengkhusus (spiritisme).
C.
Teori-teori
dengan Pendekatan yang Berorientasi pada Sikap manusia Terhadap Hal Gaib
Menurut R.Otto semua sistem religi
di dunia berpusat pada hal gaib yang dianggap maha dasyat dengan segala sifat
gaib dan keramatnya. Maka manusia menunjukkan apresiasinya dengan rasa kagum
dan terpesona yang kemudian muncul dorongan serta rasa ingin menghayati rasa
bersatu dengan hal tersebut. Sikap apresiasi ini kemudian berkembang menjadi
sistem religi, kepercayaan dan agama.
D. Teori-teori yang Berorientasi
pada Upacara Religi
Ada empat tokoh yang teorinya
berorientasi pada upacara religi. Yang pertama adalah toeri W. Robertson Smith tentang uapacara
bersaji, menurutnya teori
religi tidak hanya berpangkal pada
analisa sistem keyakinan atau pelajaran doktrin saja, tetapi berpangkal pada
upacaranya (Koentjaraningrat, 1987) .
Robertson Smith ini mempunyai tiga
gagasan tentang azas-azas religi dan agama. Gagasan pertama mengenai mengenai
sistem upacara sebagai suatu perwujudan dari religi dan agama yang memerlukan
analisis khusus, karena dalam representasinya banyak agama yang upacaranya
tetap, namun latar belakang, keyakinan, maksud dan doktrinnya telah berubah.
Dicontohkan dalan agama Rum, upacara untuk menghormat kepada dewa Rumulus.
Upacara tersebut serupa dengan yang dilakukan oleh pemeluk agama Katolik, namun
tujuan penyembahan mereka bukan pada dewa Rumulus tetapi kepada Santa
Theodorus.
Gagasan keduanya tentang upacara
religi atau agama tidak hanya untuk berbakti kepada Tuhannya, atau untuk
kepuasan agama secara pribadi, namun juga mempunyai fungsi social yaitu
mengeratkan solidaritas masyarakat karena melakukan upacara tersebut adalah
suatu kewajiban social.
Gagasan terakhirnya adalah tentang
teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada saat upacara bersaji, manusia
akan menyajikan sebagian dari seekor hewan, terutama darahnya untuk dewa,
kemudian sisanya (daging dan darah) dimakan oleh mereka. Aktivitas ini dianggap
mereka sebagai bentuk solidaritasnya dengan dewa. Dicontohkannya pada
kebudayaan suku bangsa Arab.
Tokoh yang kedua
adalah K.T. Preusz
yang mengonsepsikan Azas-Azas Religi. Konsepnya yang pertama dimulai dari
wujud religi tertua yang berupa tindakan-tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya
tidak dapat diwujudkan dengan rasionalitas, ini merupakan pangkal permulaan
religi.
Konsenya yang kedua adalah tentang
pusat dari tiap sistem religi dan kepercayaan di dunia menurutnya adalah ritus
dan upacara, yang melalui kekuatan-kekuatan gaib yang dianggapnya dapat
memenuhi kebutuhan serta tujuan hidup mereka yang materil ataupun yang
spiritual. Preusz menganggap bahwa upacara religi biasanya bersifat ilmu gaib.
Konsepsi Pruesz selanjutnya adalah
tentang arti dari ritus dan upacara. Menurutnya ritus dan upacara yang paling
penting adalah ritus kematian, karena konsep manusia yang mengenal hidup dan
maut sebagai orientasi pusat dari banyak religi di dunia, proses tersebut
adalah proses pemisahannya. Dengan bukti-bukti diatas, Pruesz tetap pada
pendirinnya semula, yaitu perkembangan sistem religi di dunia banyak
dipengaruhi oleh sistem upacara dan tingkah laku manusia daripada sebaliknya.
Kesimpulan konsepsi Pruesz adalah sistem upacara dan ritus akan bernilai kosong
tidak bermakna, bila tingkah laku
manusia didalamnya bersifat rasional.
Tokoh yang ketiga adalah R. Herzt tentang upacara kematian. Menurutnya, sebagian besar tingkah laku
manusia terbentuk karena gagasan kolektif yang
hidup dalam masyarakat itu. Sebagai penganut Durkheim, ia menganggap bahwa
uapacara kematian adalah adat-istiadat dari suatu masyarakat yang sumbernya
dari gagasan kolektif. Gagasan kolektif tersebut berupa anggapan bahwa mati
adalah suatu proses peralihan dari suatu kedudukan social yang berwujud dunia
kekedudukan social yang lain yang berwujud dunia makhluk halus. Dengan lantang
Herzt menyebut upacara kematian menyebutnya dengan upacara inisiasi. Ia
menjelaskan dengan menunjukkan lima anggapan memurutnya, yaitu 1. Peralihan
kedudukan tersebut adalah masa penuh bahaya gaib, untuk yang meninggal dan
seluruh masyarakat; 2. Jenazah dan keluarganya dianggap mempunyai sifat
keramat; 3. Upacara peralihan tersebut tidak dapat dilakukan sekaligus, namun
harus bertahap; 4. Upacara inisiasi ini mempunyai 3 tahap, yaitu tahap pelepasan
jenazah dengan kehidupan lamanya, tahap persiapan kedudukan baru dan tahap
pengangkatan dalam kedudukan baru; dan 5. Jenazah merupakan makhluk yang lemah
sehingga bisa dikuatkan denga upacara ini.
Hertz merepresentasikan konsep
tentang upacara kematian dengan suku-bangsa yang ada di Indonesia dengan tiga
tingkat, yaitu 1. Pemakaman sementara; 2. Masa antara, berlangsung 3-5 tahun,
karena sebelumnya konsepsinya yang mati dan keluarganya bersifat keramat jadi
merka harus menaati pantangan dan dilarang berhubungan dengan masyarakat lain.
Mereka juga berkewajiban memlihara roh dari yang meninggal itu, karena roh
tersebut tinggal di lingkungan mereka dan mempersiapkan kedudukan baru untuk
roh tersebut; 3. Tingkat terakhir ditandai dengan penggalian kembali makam
mereka, sehingga ada upacara tulang-tulang jenazah tersebut kadang ada yang di
bakar, selanjutnya ditempatkan di pemakamannya yang tetap.
Tokoh yang terakhir adalah Van Gannep tentang Ritus Peralihan dan
Upacara Pengukuhan. Ia berpendirian
bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada asaznya berfungsi sebagai
aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antar warga
masyarakat (Koentjaraningrat, 1987) .
Menurutnya rangkaian ritus dan
upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan adalah upacara yang paling penting,
dan ia menganggap bahwa ritus dan upacara tersebut adalah kebudayaan paling
tua.
Van Gannep menyataka bahwa semua
ritus dan upacara dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu 1. Perpisahan,
manusia meplepaskan kedudukannya semula. Tahap ini digambarkan dengan bayi yang
baru dilahirkan, sehingga perlunya upacara untuk melepaskan kehidupannya yang
dulu dalan rahim; 2. Manusia dianggap mati atau tidak ada lagi dan mereka juga
menyiapkan untuk menjadi manusia baru dengan lingkungan yang baru. Pada tingkat
ini digambarkan pada remaja yang akan terjun ke kehidupan masyarakat; 3.
Tingkat akhir adalah peresmian individu menjadi anggota baru ke dalam
lingkungan yang baru.
E. Komponen
Religi Menurut Koentjaraningrat
Keyakinan paling awal yang menyebabkan
terjadinya religi dalam masyarakat manusia ialah keyakinan tentang adanya
kekuatan sakti dalam hal yang luar biasa dan ghaib. Seiring berkembangnya waktu
keyakinan itu bersifat kabur dan adanya keyakinan bahwa semua benda yang ada di
muka bumi memiliki jiwa dan dapat berpikir layaknya manusia. Selain itu timbul
keyakinan adanya berbagai macam roh yang memiliki bentuk sendiri-sendiri,
kemudian berkembang keyakinan terhadap dewa. Adanya dewa juga bermacam-macam
yang sehingga menimbulkan keyakinan tokoh dewa sebagai penyebab dari adat-
istiadat dan kepandaian manusia.
Menurut koentjaraningrat menyebutkan bahwa
komponen religi ada lima yaitu: emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus
dan upacara, peralatan ritus dan upacara, serta umat agama. Pertama emosi
keagamaan, jiwa manusia di gerakkan oleh sikap religi yang sudah tertanam kuat.
Secara tidak sadar bahwa manusiadalam menjalankan kehidupan sudah terikat oleh
religi. Kedua sistem keyakinan, dalam hal ini melibatkan akal pikiran dan
gagasan manusia tentang religi. Manusia mempunyai konsep bahwa religi
berhubungan dengan wujud Tuhan beserta sifat-sifatnya. Seperti adanya alam
ghaib, makhluk halus, alam dunia dan lain sebagainya.
Ketiga sistem ritus dan upacara, suatu
wujud tindakan aktivitas manusia yang dilakukan secara berulang kali dan juga
mempunyai adat tersendiri. Cara bagaimana menyembah Tuhan dan ritual-ritual
yang dapat digunakan untuk pengabdian terhadap Tuhan. Ritus religi biasanya
juga menggunakan peralatan atau sarana yang mendukung supaya nantinya dapat
sampai ke tujuan dengan menghadap sang Maha Agung. Seperti contoh umat muslim,
apabila akan shalat menggunakan mukena. Dan yang terakhir adalah adanya umat,
dalam hal ini juga merupakan komponen yang penting. Tanpa adanya sistem
kesatuan manusia maka ritus upacara tidak bisa dilaksanakan. Jadi komponen
pertama sampai terakhir dalam religi mempunyai kesinambungan yang sangat erat.
Apabila dipisahakan tidak akan membentuk suatu sistem keyakinan yang sempurna.
Apabila di umpamakan sistem religi ini
seperti rantai makanan manusia yang mempunyai keterikatan dan saling
berkesinambungan juga tidak mudah untuk dipisahkan satu sama lain.
F. Analisis Kebudayaan Indonesia dalam Konteks Azas
Religi
Indonesia adalah Negara yang
multicultural, yang dimana di dalamnya terdapat sangat banyak bentuk
keanekaragaman social baik dalam hal kebudayaan, adat istiadat, suku, bahasa,
kepercayaan, religi dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak mungkin dapat
kami sebutkan satu persatu.
Di dalam buku Sejarah Teori Antropologi I milik Koentjaraningrat dituliskan bahwa
di dalam religi terdapat lima komponen penting, yakni emosi keagamaan, system
keyakinan, system ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara, serta umat
agama.
Emosi keagamaan menurut Koenjtaraningrat
merupakansuatu komponen utama yang dapat menyatukan beberapa unsure dari keyakinan,
ritus dan upacara, peralatan ritus serta upacara dan umat beragama menjadi satu-kesatuan.
Koentjaraningrat sendiri setuju dengan konsep dari R. Otto yang mengatakan bahwa
masalah itu tidak akan dapat dianalisa oleh akal manusia, karena berada di luar
lingkup kemampuannya.
Semua komponen religi
itu dalam fungsinya erat hubungannya satu dengan yang lain. System keyakinan menentukan
acara ritus dan upacara, seperti contoh di Indonesia pada umat Hindu yang baru saja
melaksanakan ritual Nyepi, mereka melakukan beberapa ritual yang menurut mereka
itu hal yang wajib dari keyakinannya. Seperti tidak menyalakan api, tidak
bekerja, tidak bepergian keluar rumah, tidak mencari hiburan, dan lain-lain.
Dari hal itu, system keyakinan juga menentukan tingkah laku umat agama. Pasti di
setiap keyakinan apapun ada ritual tersendiri yang dianggap sebagai kegiatan suci
yang seperti dapat dianggap dilahirkan kembali ke muka bumi dengan keadaan suci.
Di Indonesia seperti umat islam, mereka akan merasakan seperti manusia yang lahir
kembali dalam keadaan suci setelah melaksanakan hari raya idul fitri dan berpuasa
satu bulan penuh. Umat Hindu yang selesai melaksanakan ritual-ritual suci dihari
Nyepi, dan umat-umat lainnya. Dari contoh-contoh itu dapat kita buktikan bahwa kelima
komponen tersebut memang benar saling nyata keterkaitannya, seperti dalam keyakinan
agama Hindu, mereka memiliki keyakinan kemudian mereka melakukan upacara atau ritus
yang diperintahkan oleh keyakinannya, untuk melaksanakan upacara atau ritus tersebut,
mereka membutuhkan beberapa sarana dan peralatan yang dianggap sacral untuk melakukan
ritualnya, untuk melaksanakan ritual agama seperti Nyepi tadi, pastilah semua umat
agamanya melakukan ritual tersebut secara berbondong-bondong untuk mendapatkan restu
dari sang Dewata Agung.
oleh: Alfi Indah K Mj with Sima, Maya, Inay
Komentar
Posting Komentar