Teori Evolusi Kebudayaan Part I
TEORI EVOLUSI
KEBUDAYAAN SEASON I
A.
Proses Evolusi
Sosial Universal
Pertengahan abad ke-19 adanya kegiatan
penelitian ahli geologi yang menghubungkan antara lapisan bumi dan fosil
manusia serta makhluk lain yang ada di dalamnya. Suatu aktivitas besar untuk
meneliti dan mengklasifikasikan berbagai penemuan fosil manusia timbul sejak akhir abad ke-19, hal
ini kemudian diperluas dan banyak ditemukan fosil di luar Eropa. Penelitian
terhadap asal mula manusia yaitu dengan membandingkan dan menganalisa hasil
penemuan fosil-fosil manusia zaman dahulu.
Charles Darwin mengkhususkan masalah
hubungan antara seleksi alam dan evolusi manusia, yang mendorong untuk
melakukan penelitian tentang fosil
secara lebih mendalam. Penelitian itu dilakukan di Eropa dan di benua lainnya.
Setelah meneliti tentang fosil ada keinginan dari para ahli untuk meneliti
hasil karya atau benda-benda kebudayaan yang terbuat dari bahan yang keras dan
masih ada pada lapisan bumi. Hal serupa juga dilakukan oleh J.Boucher de Pertes
yang meneliti secara sistematis terhadap benda-benda hasil kebudayaan
(Koenjaraningrat, 1987: 24).
Setelah meneliti tentang benda hasil
kebudayaan ternyata timbul masalah tentang
cara hidup manusia zaman dahulu. Pemikiran orang Eropa pada akhir abad ke-18
dan awal abad ke-19 waktu itu Eropa-sentris dimana mereka beranggapan bahwa
orang Eropa mempunyai kebudayaan tertinggi dan terbaik dari bangsa-bangsa yang
lain.
Hal di atas
timbul kesadaran para cendikiawan dan ahli filsafat di Eropa Barat tentang
keanekaragaman dari ciri ras, bahasa dan
kebudayaan manusia di dunia. Pemikiran tentang evolusionisme tidak digunakan
hanya untuk ilmu eksak tetapi juga menyebabkan proses evolusi sosial secara universal. Evolusi
sosial ini dapat terjadi secara mutlak, artinya semua manusia yang ada di muka
bumi ini akan mengalami perkembangan/perubahan secara lama (evolusi).
Perkembangan ini dari tingkatan sederhana sampai tingkatan yang kompleks.
Waktu yang digunakan dalam berevolusi
berbeda-beda, tidak ada yang sama satu sama lain. Tapi tujuan atau pandangan
yang ingin dicapai sama. Banyak para tokoh yang mengemukakan tentang teori
evolusi sosial diantaranya H. Spencer, J.J Bachofen.
B.
Evolusi
Sosial Universal Herbert Spencer dan Representasinya di Indonesia
Sebagi salah satu pendekar
Anropologi H. Spencer mempunyai andil besar untuk sumbangasih teori-teori
evolusi kebudayaan. H. Spencer mencetuskan konsep mengenai evolusi sosial
universal, dalam konsep yang diajukannya menyatakan bahwa seluruh alam itu,
baik yang berwujud nonorganis, organis, maupun superorganis, berevolusi karena
didorong oleh kekuatan mutlak yang disebut evolusi universal.[1]
Secara garis besar anggapan evolusi universal memiliki pengertian bahwa
perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya di seluruh dunia akan, masih atau
telah mengalami tahap-tahap evolusi yang sama. Namun, H. Spencer juga menyadari
bahwa ada bagian masyarakat dan beberapa sub kebudayaannya yang mengalami
evolusi khusus atau berbeda dari umumnya. Beberapa contoh khusus tersebut
misalnya pada teori asal mula religi dan evolusi hukum dalam masyarakat.
Konsep H. Spencer sepertinya dapat
kita proyeksikan pada situasi masyarakat Indonesia, semisal saja pada
perkembangan pembangunan sejak zaman orba hingga saat ini yang secara otomatis
pasti akan mempengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Jika disisi lain kota-kota
besar dan kota-kota satelit gencar melakukan pembangunan disegala bidang,
daerah-daerah lain terutama daerah yang jauh dari kota (terisolir) sama sekali
belum terjamah pembangunannya atau pun jika ada, pembangunan tersebut mangkir dan
lelet pelaksanaanya jadi keduanya
seperti dua hal bertolak belakang yang berada dalam satu garis sumbu simetris.
Konsep lain H. Spencer seperti asal mula religi juga dapat kita lihat
realitanya pada perkembangan religi masyarakat nusantara, religi di Indonesia
memiliki perjalanan evolusi khusus dan berbeda dengan konsep umum yang
dinyatakan oleh Spencer.
Menurutnya
secara umum evolusi religi bangsa-bangsa di dunia yaitu:
Ø Ketakutan
manusia akan maut à penyembahan roh
nenek moyang à penyembahan dewa à dewa
(polytheisme)/ monotheisme.
Evolusi
religi di Indonesia secara historis memiliki tahap khusus yang sedikit berbeda
dari umumnya yaitu:
Ø Sadar
akan kekuatan besar (makro/mikrokosmos) à
penyembahan roh nenek moyang (animisme) à benda
keramat (dinamisme)/toteisme à
politheisme/monotheisme.
Secara
keseluruhan kami sependapat dengan teori yang diajukan oleh H. Spencer namun
ada beberapa hal yang kurang sesuai dengan pemikiran kami seperti pernyataannya
bahwa bentuk religi tertua adalah penyembahan kepada roh-roh atau nenek moyang.
Kami lebih condong pada pandangan Andrew
Lang (1898) yang menyatakan bahwa masyarakat primitif sejak dulu telah
meyakini monoteisme dan ide tentang ketuhanan tidak datang secara evolusi melainkan
secara relevasi atau wahyu (Subky 2012: 28).
C. Teori Evolusi Keluarga J. J. Bachofen
Bachofen merupakan seorang ahli
hukum Jerman yang menjadi terkenal dalam ilmu antropologi, karena telah mengembangkan
tentang teori evolusi hukum milik dan hukum waris dan erat kaitannya dengan
teori tentang evolusi bentuk keluarga (Koentjaraningrat, 1987: 38). Teori
tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul Das Mutterrecht “Hukum Ibu”. Bahan yang dipakainya cukup banyak
yaitu: masyarakat Yunani, Rum Klasik, etnografi bangsa-bangsa Asia, Afrika dan
suku-suku bangsa Indian di Amerika.
Menurut Bachofen setiap keluarga
manusia yang ada di dunia melalui perkembangan empat tahap evolusi. Tahap yang pertama adalah keadaan
promiskuistas, diartikan dengan tidak adanya suatu hubungan mengikat diantara
laki-laki dan perempuan, karena hal yang tersebut keadaan ini bisa dikatakan
serupa dengan sekawanan binatang berkelompok. Pada tahap ini belum mengenal
nama keluarga inti.
Tahap pertama berakhir ditandai
dengan sadarnya manusia dengan hubungan inti antara si anak dan si ibu,
sehingga ibu dan anak disebut keluarga inti dalam kelompok tersebut, tetapi
dalam tahap ini peran seorang ayah belum ada dan belum dikenal. Sehingga yang
menjadi kepala keluarga adalah seorang ibu. Muncullah adat perkawinan exogami,
karena pernikahan ibu dan anak itu dihindari. Dari perkawinan-perkawinan
tersebut maka luaslah keluarga ibu, sehingga selanjutnya garis keturunan
dihitung dari garis ibu dan para sarjana pada waktu itu menyebutnya matriarchate.
Pada tahap selanjutnya pihak laki-laki
merasa tidak puas dengan keadaan seperti ini, sehingga yang dilakukannya adalah
mengambil calon isteri-isteri dari kelompok-kelompok mereka ke kelompok para
laki-laki tadi. Lambat laun dengan keadaan seperti ini timbullah
keluarga-keluarga baru yang garis keturunannya di hitung dari ayah. Dengan
demikian ayah adalah kepala keluarga, keadaan yang demikian ini disebut patriarchate.
Tahap akhir ditandai dengan kembali
sadarnya bahwa dengan adat perkawinan exogami keluarga manusia tersebut dapat
terputus karena jarak ruang dan waktu yang semakin jauh, sehingga perkawinan
exogami berubah menjadi endogami yang masih terikat batas-batas tertentu yang
menyebabkan anak-anak mereka senantiasa berhubungan langsung dengan keluarga
ayah dan ibu. Lambat laun sistem patriarchate
menghilang dan berganti menjadi susunan parental.
D. Aplikasi Teori Evolusi Keluarga J. J.
Bachofen pada salah satu kebudayaan di Indonesia
Teori yang dibawakan oleh Bachofen
ini sesuai dengan beberapa sistem kekerabatan yang ada pada kebudayaan
Indonesia, seperti pada kebudayaan yang ada di daerah Minangkabau yang menganut
sistem matriachate, dengan keluarga
batih (ramah) merupakan suatu kesatuan hidup yang paling kecil berdasarkan
pertalian darah. keluarga dalam pengertian setempat bukanlah ayah, tetapi ibu
dan anak-anaknya yang belum menikah. Sistem kekerabatan yang ada disana
memperhitungkan dua generasi diatas ego laki-laki dan satu generasi dibawahnya.
Dalam hal jodoh masyarakat
Minangkabau memilih dari luar suku, tetapi pola itu kini sudah mulai hilang.
Bahkan akibat pengaruh dari dunia modern, perkawinan endogami lokal tidak lagi
dipertahankan[2].
Akibat
dari adanya hal itu, tetapi bukan berarti pula telah punah, masih ada bahkan
banyak masyarakat asli yang berada di tanah Minang yang masih mempertahankan
system kekerabatan mereka, terutama para tetua adat. Meskipun saat sekarang
sudah berbeda cara melaksanakannya, tetapi pada intinya untuk melaksanakan
suatu hal yang amat sacral seperti pernikahan, mereka masih menggunakan sistem matriachate untuk melaksanakan
kebudayaannya, meskipun dengan cara yang bermacam-macam.
Masyarakat
Minang meskipun di era ini telah melewati beberapa tahapan masa perkembangan
evolusi yang menurut kami sesuai dengan teori evolusi yang telah dibawakan
Bachofen, tetapi adat Minang masih bisa dikatakan berpegang teguh dengan system
matriachatedan tidak mengelak bahwa
system parental pun juga pernah ada didalamnya, karena banyaknya pengaruh dari
dunia luar yang masuk pada anak-anak Minangkabau asli.
Daftar Pustaka
Indriyawati,
Emmy. 2009. Antropologi 2. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Koentjaraningrat.
1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia press.
Subky, M. Hasby.
(ed). Buku Daras Pendidikan Agama Islam.
2012. Malang: PPA Universitas Brawijaya.
Komentar
Posting Komentar