BAHAN MENTAH ANTROPOLOGI DAN KONTEKS ANEKA WARNA
MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masyarakat
yang ada di dunia sangat beranekaragam dan tak terhitung jumlahnya. Mulai dari
ragam kebudayaaan, fisiologi manusia dan lingkungan sosialnya. Manusia yang tersebar
diseluruh belahan bumi mempunyai ciri dan khas tersendiri. Ciri yang sangat mencolok
dan sangat mudah dilihat seperti ciri rasial (warna kulit, bentuk rambut dll)
serta kebudayaan yang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Setiap
kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat bisa menampilkan suatu corak khas
yang mudah terlihat oleh orang luar warga masyarakat bersangkutan. Corak khas
dari kebudayaan itu bisa berupa unsur yang kecil dan besar.
Dahulu
datangnya bangsa Eropa Barat di benua Afrika, Asia, dan Amerika menjadi awal
mula munculnya konsep tentang etnografi. Dari ekspansi ini ditemukan hal-hal
yang unik dan berbeda dengan apa yang mereka miliki. Bukti dari hal-hal unik itu
digunakan sebagai bahan acuan yang dapat mendukung adanya kehidupan pada masa
zaman dahulu mengenai beragamnya manusia di bumi. Seperti yang ada di Afrika,
Asia, Osenasia yaitu (kepuluan di lautan teduh) maupun bangsa Indian, penduduk
pribumi Amerika. Bahan deskripsi itu disebut “entografi” dari kata ethos yang
berarti bangsa.
Dengan
adanya perbedaan yang berbeda-beda sangat menarik orang Eropa Barat waktu itu
untuk melihat secara lebih teliti. Pada awalnya yang mereka lihat hanya
bentuk-bentuk yang mencolok saja sehingga kurang teliti dalam
mengawasi/mencermati secara lebih mendalam. Perbedaan itu ternyata menimbulkan
kontroversi bagi kalangan pelajar Eropa Barat terhadap bangsa-bangsa di Afrika,
Asia, Osenasia dan orang Indian di Amerika. Dari sinilah karangan-karangan
etnografi disusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Bentuk
masyarakat dan kebudayaan tertinggi saat itu adalah orang Eropa Barat, dan
semua bentuk masyarakat dan kebudayaan yang ada di luar eropa dengan aneka
warna manusianya itu disebut primitive
atau dianggap sebagai contoh dari kebudayaan yang rendah. Dengan timbulnya
beberapa karangan yang mengklasifikasikan bahan tentang beragam kebudayaan diseluruh
dunia ke dalam tingkat evolusi tertentu maka timbullah teori antropologi.
B.
Rumusan
masalah
|
1.
Uraikan
materi dasar Antropologi dan etnografi sebagai awal kemunculan teori
Antropologi?
2.
Bagaimanakah
hubungan bahan-bahan etnografi (materi dasar antropologi) dengan aneka warna
manusia?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui penyebab serta asal mula munculnya teori antropologi.
2.
Untuk
mengidentifikasi hubungan antara bahan antropologi dengan aneka warna manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Materi
dasar Antropologi dan etnografi sebagai awal kemunculan teori Antropologi
· Asal Muasal
Bahan Mentah Etnografi
Antropologi
merupakan suatu ilmu yang mempelajari makhluk anthropo satu manusia, juga
merupakan suatu integrasi dari beberapa ilmu yang masing-masing mempelajari
suatu kompleks masalah-masalah khusus mengenai makhluk manusia yang kemudian
berhasil melahirkan suatu disiplin ilmu yang membahas tentang manusia itu pula.
Kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua
Afrika, Asia, dan Amerika selama 4 abad (sejak
akhir abad ke-15 hingga permulaan abad ke-16) membawa pengaruh
besar bagi berbagai suku bangsa ketiga benua
tersebut [1].
Bahan keterangan itu terkumpul dan termuat dalam kategori dibawah ini:
1.
kisah-kisah
perjalanan para pelaut dan musafir bangsa Eropa.
2.
Laporan-laporan
dan buku-buku karangan para penyiar agama Nasrani yang mulai menyebarkan agama
Katolik maupun Kristen diantara bangsa-bangsa penduduk daerah-daerah di Afrika,
Asia, Oseania, atau Amerika Latin segera sesudah salah suatu Negara Eropa memantapkan
kekuasaannya disana.
3.
Laporan
dan karangan-karangan para pegawai dari berbagai pemerintahan jajahan
Negara-negara Eropa yang sejak abad ke-16 secara lambat laun memperluas pengaruh
mereka di daerah-daerah tersebut.
4.
Buku-buku
yang ditulis oleh para peneliti alam dan para ahli ilmu bumi dari Negara-negara
Eropa Barat yang melakukan perjalanan serta ekspedisi penjelajahan kebarbagai daerah
tersebut.
Ungkapan
Koentjaraningrat (1987:4) bahwa beberapa contoh dari kisah-kisah perjalanan para
pelaut dan musafir-musafir bangsa-bangsa Eropa yang kemudian menarik perhatian dan
banyak dibaca adalah buku Summa Oriental, yaitu suatu kisah perjalanan perahu Portugis
dari Malakake Negara China melalui Indonesia ( Sumatra, jawa, Nusa Tenggara dan
Maluku) dalam tahun 1512, yang ditulis oleh
seorang pedagang Portugis bernama Tome Pires ( A. cortesao 1994: I, 135-228);
II, 230-289). Laporan-laporan para pendeta penyiar agama Nasrani sudah ada sejak
abad ke-13, seperti laporan pendeta penyiar agama Katolik berbangsa Vlam
(Belgia), W. Von Rijsbruck, yang banyak bekerja di Asia Tengah dan yang antara tahun
1253 dan 1256 menulis tentang bangsa-bangsa penduduk Himalaya. Di antara karangan-karangan
yang melukiskan masyarakat dan bangsa-bangsa di luar Eropa, paling banyak berasal
dari tangan para pegawai pemerintah jajahan. Beberapa contoh dari Indonesia
diantaranya seperti waktu Bengkulu masih menjadi jajahan Inggris, W. Marsden,
dalam tahun 1783 menulis sebuah buku tebal tentang beberapa suku-bangsa di
Indonesia, yaitu “ Menangcabau, Malays, Achinese, Battas, Rejangs, Lampoons”,
berjudul The History of Sumatra. Sedang beberapa contoh dari buku-buku hasil karya
atau laporan ekspedisi penjelajahan para peneliti alam dan para ahli ilmu bumi adalah
misalnya buku-buku karya ahli geografi Rusia, N. N. Miklukho-Maklai
(1846-1881), yang telah merupakan laporan-laporan dari ekspedisi-ekspedisi penjelajahannya
keOseania, Melanesia dan Irian.
· Bahan Etnografi
Sebagai Awal Kemunculan Teori Antropologi
Bahan-bahan
(kisah-kisah, catatan perjalanan) yang terkumpul yang datang dari empat sumber
tadi banyak mengandung keterangan adat istiadat bangsa-bangsa penduduk-penduduk
daerah yang diteliti, selain itu juga sering ikut tercatat bahan keterangan
tentang ciri fisik (yaitu warna rambut, bentuk rambut, bentuk mata dan
sebagainya), sedangkan tidak jarang juga karangan-karangan tersebut memuat
fakta-fakta serta daftar kata-kata dari aneka bahasa mereka yang diucapakan
pada masing-masing bangsa.[2]
Bahan-bahan inilah yang biasa disebut bahan etnografi yaitu, pelukisan tentang
bangsa. Arti bangsa disini tidak hanya diartikan sebagai suatu Negara, namun
juga istilah untuk menyebut kehidupan suatu suku dalam lingkup yang dibatasi
oleh wilayah teritorial daerah, beda daerah beda bangsa.
Pada mulanya, mereka memutuskan
mencacat perjalanan mereka karena hal-hal yang demikian itu adalah hal yang
aneh bagi mereka, namun laporan yang mereka catat hanya bersifat dangkal/data
permukaan, kurang teliti dan kebanyakan hanya mengkhususkan kepada unsur-unsur
kebudayaan dari bangsa tersebut. Karena pada waktu itu, belum ada disiplin ilmu
yang mengikat mereka sehingga ada batasan-batasan saat pencatatan.
Dengan semakin lamanya waktu mereka
berekspansi ke bangsa-bangsa afrika, asia, oseania, amerika latin dan
sebagainya semakin banyak pula catatan yang dibawa mereka. Tidak jarang pula
mereka membawa oleh-oleh macam-macam benda kebudayaan berupa alat-alat,
senjata, hasil kesenian, hasil kerajinan dan koleksi tengkorak dari berbagai ras
yang ada di bumi. Sehingga muncullah suatu keputusan untuk menyimpan
barang-barang tersebut di museum.
Dengan melihat
banyaknya data yang terkumpul dapat dipastikan bahwa bangsa yang tinggal di
tempat satu berbeda dengan bangsa yang tinggal di tempat lainnya, mulai dari
warna kulit, bentuk rambut, mata dan ciri fisik lainnya sampai budaya yang
melekat pada bangsa mereka. Hal inilah yang mendasari mereka untuk membentuk
teori-teori etnografi dari barbagai macam perbedaan ciri fisik, pola kehidupan,
makanan, adat istiadat, sehingga dalam
perjalananya teori tersebut dapat diterapkan dalam suatu penelitian masa
sekarang dengan objek penelitian yang sama seperti pola yang ada di bangsa/suku
tersebut.
Dari perkumpulan
data tersebut para ilmuan terdahulu bisa menganalisa dengan mengaitkan berbagai
hal seperti gejala tingkah laku, gejala sosial, hukum adat yang berlaku, progress
kemajuan hidup dan sebagainya. Penganalisaan tersebut bertujuanl untuk memahami
manusia secara lebih mendalam, bahwa setiap kelompok manusia tidak hanya
dipandang dari kemajuan teknologinya (penglihatan semata) yang akan di pandang
rendah bila kelompok manusia tersebut tidak sama seperti kita.
B.
Korelasi
materi dasar Antropologi dengan Konteks Aneka Warna Manusia
Sejak banyak
ditemukannya catatan-catatan dan benda etnografi dari bangsa selain eropa
(Afrika, Asia, Amerika) pada abad ke 16-19 M pengetahuan tentang bangsa-bangsa
lain mulai dilirik oleh orang eropa. Mereka mengetahui bahan etnografi yang
selanjutnya menjadi materi dasar Antropologi tersebut melalui pameran maupun tulisan yang
dipublikasikan di museum maupun di lembaga-lembaga pendidikan sehingga dari
sini muncul pandangan orang eropa yang bermacam-macam mengenai beragamnya
bangsa, aneka manusia dan budaya selain mereka.
Ditemukannya
materi dasar Antropologi ini ikut berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan pola pikir bangsa eropa yang maju pada masa itu. Hal ini menjadikan
analisis tentang sesuatu yang mendasari keanekaragaman manusia dapat dilihat
dari beberapa sudut pandang. Diantaranya bidang filsafat yang menganalisis
kembali dasar masyarakat dan kebudayaannya, bidang anatomi yang menitikberatkan
aneka warna manusia dengan ciri-ciri fisiknya, bidang sosio-kultur dan aneka
warna bahasa manusia. Sudut pandang tersebut akan diulas secara lebih lanjut di
bawah ini.
· Filsafat dan
Dasar Aneka Warna Manusia
Konsepsi agama
menerangkan bahwa awal mula aneka manusia berasal dari dua jenis manusia yang
bersatu (Adam-Hawa) sehingga lahir manusia yang beraneka seperti saat ini, dalam
ilmu pengetahuan dikenal beberapa teori yang juga membahas induk dari aneka
warna manusia seperti teori C. Darwin, H. Spencer dan lain sebagainya. Pada
abad ke-16 dunia filsafat juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai fenomena
aneka warna manusia yang tertuang dalam dua pandangan yakni polygenesis dan
monogenesis.[3]
Polygenesis
sebagai pandangan para filsuf yang pertama bekeyakinan bahwa aneka warna
manusia dari awal memang sudah diciptakan beraneka warna dari induk yang
berbeda satu dengan lainnya, pandangan ini bersifat eropa-sentris karena orang eropa berpikir bahwa dari induk
yang berbeda itu nenek moyang merekalah paling unggul dari yang lain. Sedangkan
pandangan yang kedua yakni monogenesis berkeyakinan bahwa aneka warna manusia
berawal dari satu induk yang sama (Adam-Hawa), anggapan ini hampir sama dengan
anggapan agama. Namun dalam perkembangannya paham monogenis terbagi menjadi
dua. Sub pertama bependapat adanya fenomena aneka warna manusia sebagai akibat
regressing (kemunduran), pendapat ini ada karena di masa sebelum itu dunia
barat mengalami masa beku (abad ke 12-15) dalam arti pengetahuan dan kebudayaan
tidak berkembang bahkan redup. Sub yang kedua dari paham ini bertolak belakang
dari sub pertama, anggapan ini berpendapat
bahwa aneka warna manusia muncul sebagai suatu kemajuan. Hal ini dapat
dibuktikan oleh dengan peradaban-peradaban yang mereka bangun meskipun tingkat
kemajuan bangsa satu dengan yang lainnya berbeda. Tak lepas dari sang pemikir
yakni orang eropa sendiri sehingga menempatkan bangsa dan kebudayaan eropa
dipandang lebih maju dari pada bangsa lain.
Sekedar
menganalisis kembali dari kedua pandangan di atas penulis beranggapan bahwa
pandangan monogensis merupakan pandangan yang lebih dapat dikaitkan dengan
aneka warna manusia. Dari keturunan satu induk yang sama itu manusia dengan
naluri dinamisnya kemudian menyebar ke belahan dunia lain sehingga tidak dapat
dielakkan mereka harus beradaptasi dengan alam dan lingkungannya seperti
makanan, aspek geografis, sosial dan lain sebagainya. Dari faktor-faktor
ekstern inilah yang menjadikan timbulnya keberagaman lebih banyak. Perkembangan
dan kemajuan kebudayaan yang ada saat ini juga menggambarkan bahwa adanya aneka
manusia mebawa progress dalam berbagai bidang, hal ini dapat dirasakan dengan
kemudahan dan benefitas yang kita temukan dalam kehidupan saat ini meskipun
tetap ada kemunduran sebagai imbas lain dari adanya perkembangan dan kemajuan
namun itu sudah menjadi sesuatu yang lumrah.
· Ciri-Ciri Fisik
sebagai Wujud Aneka Warna Manusia
Selain
menimbulkan pemikiran dasar mengenai induk aneka warna manusia materi dasar
antropologi juga menjadi cikal bakal adanya pemikiran ciri fisik dan anatomi
yang berbeda antar bangsa satu dengan yang lain. Fosil dan kerangka manusia
yang berbeda memang pernah dikaji oleh beberapa ahli pada masa lampau seperti
Herodotus dan Aristoteles yang menggunakan kerangka manusia dari bangsa-bangsa
tetangganya. Perhatian lebih mendalam mengenai ciri fisik muncul setelah
bahan-bahan etnografi ditemukan oleh bangsa Eropa, beberapa ahli biologi dan
fisiologi melakukan penelitian komparatif anatomi bangsa-bangsa di bumi dari
sinilah lahir antropologi fisik.
Penelitian
komparatif anatomi bangsa-bangsa di dunia yang dihubungkan dengan data-data
etnografi menghasilkan klasifikasi ras
dan daerah persebarannya seperti (ras kaukasoid di eropa barat, ras negroid di
Afrika dst).
Mozaik ras utuh
dunia beserta persebarannya dapat diambil bagian kecil semisal Indonesia. Di
Indonesia sendiri didiami berbagai suku bangsa yang berbeda ras seperti di
Sumatara dan jawa yang di dominasi ras melayan mongoloid dan di Ambon dan Irian
Jaya yang di didominasi ras Negroid/papua mongoloid. Peristiwa ini dapat
terjadi karena perubahan dan berbagai faktor dari luar yang dialami dari kedua
ras ini tidak sama. Sesuai dengan teori Antropologi yang meyatakan perubahan
gaya hidup (mencakup perubahan kebudayaan) merupakan salah satu sebab dari
perubahan ciri fisik manusia.[4]
· Filsafat Sosial
dan Aneka Warna Manusia
Pemikiran
filsafat sosial dalam menanggapi aneka warna manusia meliputi perilaku dan
tindakan masyarakat menuju bentuk yang sempurna. Secara garis besar dalam
pandangan ini menggambarkan bahwa aneka warna manusia merupakan akibat dari
pengaruh sejarah masing-masing bangsa, lingkungan alam dan struktur internnya. Beberapa
tokoh yang memelopori perspektif sosial dengan keterkaitan aneka warna manusia
ini adalah Montesquieu, Turgot, Voltaire dsb. Montesquieu memiliki konsep
tentang kenajuan manusia yang melewati tiga tingkat evolusi sosial yaitu
tingkat masyarakat berburu/liar (sauvage), tingkat beternak dan tingkat bertani
(Civilization).
Penerapan konsep
ini dapat diilustrasikan pada masyarakat di sekitar kita, setiap masyarakat
memang akan melewati tingkatan-tingkatan perkembangan menuju kesempurnaan yang
dicita-citakan bersama tapi sering terjadi dalam masa, wujud dan tahap yang
berbeda. Ada masyarakat yang sudah mencapai tahap maju seperti masyarakat di
kota metropolitan (Jakarta, Surabaya) ada juga masyarakat yang masih mencapai
tahap sedang, atau masyarakat yang masih mencapai tahap awal/sangat sederhana
seperti masyarakat di daerah pedalaman/terisolir. Namun disini bukan berarti
menilai masyarakat tersebut lebih maju atau lebih rendah kebudayaannya
melainkan menggambarkan suatu proses sosial yang mempunyai pengaruh terhadap
aneka manusia di dalamnya.
· Beraneka Manusia
Beraneka Bahasa
Bahasa sebagai
sarana komunikasi memiliki andil besar dalam kelangsungan hidup antar manusia
satu dengan lainnya, tanpa bahasa dapat dijamin tidak akan pernah terwujud
interaksi yang harmonis. Sebelumnya bangsa Eropa terfokus pada pengkajian
bahasa-bahasa manusia disekelilingnya yakni bahasa-bahasa eropa Barat, eropa
Selatan, Iran, Armenia, Pakistan dan India yang akhirnya digolongkan pada satu
keluarga bahasa Indo-German. Catatan-catatan etnografi yang dibawa para
ekspedisi banyak yang memuat daftar kata dari bangsa-bangsa yang mereka
temui seperti bahasa Afrika, Oseania,
Asia dan Indian. Dari bahan etnografi ini bahasa-bahasa bangsa lain mulai
diteliti karena berbeda bangsa berbeda manusia muncul keberagaman bahasa yang
selanjutnya dikelompok-kelompokkan
seperti bahasa Ural-Altai (eropa Timur-Asia Barat), bahasa Semit (Asia
Barat-Afrika Utara) dan lain sebagainya.
Adanya aneka
bahasa lazim terjadi dalam suatu bangsa
yang manusianya berbeda-beda, sebagai contoh kecil di Jawa Timur yang
notabennya hanya sebuah provinsi, di dalamnya memiliki aneka bahasa yang
dijadikan komunikasi oleh masyarakatnya mulai dari bahasa Indonesia, bahasa
Jawa(ngoko/krama), bahasa Madura dan bahasa Oseng. Bahasa yang digunakan sering
berkaitan dengan penggunannya jangankan berbeda suku, sama-sama orang Jawa saja
seringkali menggunakan bahasa yang berbeda seperti orang Surabaya yang
menggunakan bahasa Jawa kasar dengan orang Jawa di daerah Kediri, Tulungagung,
Blitar yang menggunakan bahasa Jawa halus (krama).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Antropologi
tersusun dari bahan-bahan yang tidak terduga atau terstruktur sebelumnya.
Perjalanan-perjalanan bangsa eropa yaitu para pelaut, misionaris, petugas
jajahan dan ahli bumi yang keluar dari kawasan territorial mereka menyebabkan
adanya catatan-catatan tentang manusia dengan sudut pandang social-cultural,
dengan konsep yang bermacam-macam.
Dari kecanduan
bangsa eropa yang berekspansi kebelahan bumi lainnya, terkumpullah
cacatan-catatan tentang bangsa-bangsa (etnografi) yang mereka temui dan tidak
jarang pula mereka membawa bukti perjalanan mereka, yaitu benda khas dari
bangsa-bangsa tersebut yang terhimpun dalam sebuah museum. Dari hal-hal
tersebutlah, banyak muncul konsep tentang keanekaragaman manusia dibumi yang
selanjutnya berkembang menjadi teori-teori antropologi dengan berbagai sudut
pandang.
Secara singkat
sudut pandang itu mengutarakan bahwa aneka warna manusia dilatarbelakangi
beberapa hal yakni karena induk manusia, migrasi yang terlihat dari berbedanya
suku bangsa satu dengan yang lain ketika berbeda tempat, faktor alam, faktor
gerak sosial dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI
Press.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
[1]Prof.
Dr. Koentjaraningrat Pengantar Ilmu Antropologi
2009, hlm: 1
[2]
Dalam buku Teori Sejarah Entropologi,
Koentjaraningrat (1980: 8).
[3] C.
Haddon (1910: 52-55) dalam Koentjaraningrat Sejarah Teori Antropologi (1980:
11).
[4] Kutipan
teori J.C. Prichard termuat dalam Koentjaraningrat Sejarah Teori Antropologi
(19:14).
Komentar
Posting Komentar