Cerpen Amatir
Jalan Tak Terimaji, Berujung di Taman Sriwedari
Bagaimana bisa orang menganggap aku tak mampu lari dari kerangkeng yang
dibuat oleh ayahku, aku akan membuktikannya nyaliku tak sama dengan nyali ibu
yang langsung kerdil ketika mendengar hentakan suara ayah.
Kokok ayam bekisar di halaman depan
membuat mataku terbangun dan menatap langit-langit kamar yang putih bersih di
pagi hari ini. Kamar ini seperti kamar mandi, aku bisa melakukan apapun yang
tidak bisa kulakukan di luar. Mulai dari berteriak, tertawa keras, menangis,
marah, dan bepolah semauku. Meski aku bisa tidur di atas kasur empuk berselimut
tebal tak ubahnya aku tetap kedinginan karena kulitku hanya tinggal lapisan
terbawah tanpa kulit ari. Kulit ari sudah mengelupas tak kuat lagi dengan
suara-suara panas yang setiap hari kutemui. Aku tak pernah peduli dengan
gunjingan dan cibiran orang-orang di sekitar tentang ayah, ibu dan diriku
tinggal kututup kuping ini rapat dan semuanya akan terlewat.selesai.
“Non sudah sampai”
“iya, trimakasih” pak iwan
menyadarkan mobil siJazzi hitam ini sudah sampai di depan kampusku, segera
kuambil tas dan beranjak keluar dari mobil. Setiap hari sopir setia itu selalu
setia mengantarku kemana-mana dengan penuh tanggung jawab menjagaku untuk
mematuhi perintah pak Ardi ayahku. Tahun lalu aku masuk di jurusan manajemen
fakultas ekonomi sebenarnya kuliah ini hanya untuk formalitas saja agar aku
tidak di cap sebagi pembangkang oleh orang tuaku karena sebenarnya aku lebih
suka dengan seni tari. Terserahlah aku akan mengikuti apa yang diinginkan
ayahku, tapi asal dia tahu bahwa aku tidak tercipta sebagai robot yang akan
selalu mematuhinya. Setelah terlihat si Jazzi berlalu ditelan tikungan jalan
aku menyetop taxi dan bergegas pergi ke “Rampuong”.
Aku mulai merasakan kejengahan
disertai kekangan luar biasa beberapa bulan terakhir ini. Bolos kuliah tanpa
ragu kulakukan, lebih nyaman rasanya jika pergi ke sanggar tari “Rampuong” bersama
Dewi temanku satu jurusan yang tidak sengaja kukenal saat ospek. Awalnya dia
bercerita bahwa dulu budenya adalah mantan penari keraton kasuhunan
Surakarta. Dari situ aku mulai bermain
dan keterusan sampai mengikuti salah satu kelas tari dan pernah mengikuti
pertunjukan seni tari kecil-kecilan. Lama-kelamaan aku tidak bisa membohongi
jiwaku yang telah lama tidur, menari adalah sesuatu yang bisa menggambarkan
kedirianku sesungguhnya. Sebuah alunan melodi ruhaniyah yang lepas, bebas dan
merdeka.
v
Berjalan di kegelapan magrib seperti
ini tidak terlalu buruk, aku sengaja tidak meminta jemputan pak Iwan. Memandang
warung-warung kecil dengan lampu terang dan segerombolan orang yang bersenda
gurau. Ramah sekali kehidupan mereka.
“Lho ini Mba suhita anaknya raden
Ardi yang nyalon DPR itu kan?”
Sekerjap aku kaget mendengar
celetukan suara dua ibu-ibu paruh baya yang gemuk dan satu ibu sedang
mengendong anaknya. Sontak aku berhenti sambil tersenyum menunduk.
“iya bu..”
“kok tumben sekali ndak pakek mobil?”
“iya, ingin jalan-jalan lagi pula
juga tidak terlalu jauh”.
“apa jangan-jangan mobilnya sudah
diminta istri sahnya raden Ardi ya, roro Dumila?”
“ya..gak mungkin to, kalau udah
diminta pasti udah rame gara-gara kebongkar”. Celetuk ibu yang lain.
Ingin rasanya kusobek mulut mereka,
tak ambil amarah aku pergi.
“permisi”. sambil berlalu.
Aku memang sudah biasa dicibir
seperti itu. Bagaikan lagu yang telah kusediakan ruang dengar tersendiri
ditelinga ini tanpa rasa heran atau aneh. Semua itu terjadi karena sebuah kisah
dibalikya.
Ini kisahku. Aku terlahir sebagai
anak seorang istri simpanan laki-laki darah biru keturunan keluarga kasuhunan
Surakarta Gusti Raden Ardi Winura. Namun nama itu tak pernah tertulis dalam
setiap dokumen-dokumen resmi yang bersangkutan denganku. Akta, ijazah, surat
warisan atau dokumen resmi lain tak pernah kulihat nama itu tertera di
surat-surat itu. Apalagi di lembaga pedidikan nama waliku bukan nama Gusti
Raden itu tapi nama laki-laki yang nberbeda dengan nama asli ayahku yang
sebenarnya dan jelas tanpa embel-embel gelar ningrat di depannya. Keberadaanku
memang diakui tetapi tidak secara publik. Itu lebih menyakitkan dari pada
status simpanan. Aku memang ukan putrid keraton tapi tak ada bedanya etika yang
dituntut oleh ayah dan ibu di rumah ini adalah etika jawa yang kental. Tapi
satu hal yang tidak bisa dielak aku hanya ingin memanggil ayah dengan sebutan
itu, bukan yang lain.
Kehidupan ibu dan aku adalah
kehidupan yang tersembunyi. Selama bertahun-tahun keluarga kami hidup dalam
kebisuan sosial tanpa legalitas lingkungan. Kami tinggal di sebuah perumahan
pinggir kota dengan pembantu tujuh (abdi)
suruhan ayah yang terdiri dari orang laki-laki dan wanita. Aktivitas kami
normal seperti yang lain namun ada hal yang membedakan dari yang lain yaitu
pergaulan. Kami harus menjaga interaksi dan relasi pada setiap orang. Bersifat
pasif dalam lingkungan. Tutup mulut, tutup telinga dan memelihara hati baja ata
semua respon dari luar. Meskipun terkesan beku toh kami masih hidup sampai
sekarang. Aku bisa hidup seperti ini alasannya jelas karena aku mengikuti
perintah ayah dan meniru apa yang dilakukan ibu. Namun, aku tak hanya bisa
berkedip pelan saat mengetahui alasan ibu bisa hidup seperti ini sebagai
seorang perempuan dan seorang istri simpanan. Tanda mengerti meskipun akau tak
terima.
Pernah suatu malam saat hujan lebat hanya
ada kau dan ibu di ruang tengah, saat sedang menyulam aku tidur dipangkuan ibu.
“bu..kenapa ibu bisa bertahan dalam situasi seperti ini selama bertahun-tahun?”
“bu..kenapa ibu bisa bertahan dalam situasi seperti ini selama bertahun-tahun?”
Ibu diam sejenak dan melanjutkan rajutan benang-benang lagi
di tangannya.
“kenapa harus tidak tahan, tidak ada yang salah dari semua
ini suhita”
Sambil memegang tanganku lembut dan menerawang ke
langit-langit ibu berkata dengan tenang melanjutkan jawabannya,
“Ibu lebih memilih hubungan gelap ini tetap dalam keadaan
gelap, karena jika semua ini berubah menjadi terang. Maka keadaan terang itu
akan merusak hubungan kasih ini, menyakiti perasaan ibu, ayah dan wanita lain
di sana”.
Sejak saat itu aku bisa menerima
posisi yang dijalani ibu, meski sebenarnya aku sendiri tidak setuju dengan
idiom seperti itu. Setidaknya meninggalkan kegelapan lebih baik meski harus
menyimpan luka menyesak seumur hidup. Luka akan semakin sesak jika hidup dalam
kegelapan yang memasung kebebasan jiwa hanya karena sebuah alasan yaitu cinta.
Entahlah, terlalu naïf untuk kupikirkan.
v
Malam pertengahan bulan, cahaya bulan
purnama terlihat janggal. Remang.
Lenganku dipegang begitu erat oleh ayah,
sesampainya mobil di halaman rumah dengan kasar ayah menarik lenganku masuk ke dalam ruang tamu dan
membanting tubuhku yang masih berbusana dodot
penari keraton ke sofa. Aku tidak akan takut dengan yang terjadi setelah
ini. Tatapan tajam ayah kubalas dengan tatapan tajam pula.
Dari dalam ku dengar derap langkah
ibu yang terburu-buru. Disusul derap lainnya, mungkin para pembantu.
“mas.. ada apa ini?”
“lihat anakmu! Menjadi penari seperti
ini! Memalukan, apa dia tidak punya pikiran hingga berani-beraninya menjamah
kawasan keraton! Apa yang dipikirkannya sehingga bertindak bodoh seperti itu!”
Bentakan itu memekakan telinga.
Kulihat mata ibu yang berkaca-kaca, mungkin kasihan melihatku dibentak keras
seperti ini atau itu bentuk rasa takutnya seperti biasa pada ayah. Aku hanya
meringis dan kembali menatap mata ayah.
“kenapa? Aku suka menari, bukankah
menari di keraton seharusnya bisa dibanggakan oleh seorang anak untuk ayahnya?
Atau..ayah takut kehormatan ayah jatuh karena mempunyai anak dari wanita lain
seperti in?”
Seketika itu pipiku terasa amat perih
karena tamparan ayah. Mukanya marah.
“aku hanya ingin menari, menjadi
seorang penari, menjadi seorang perempuan yang bebas memilih jalan hidupku dan
bisa merdeka tanpa kekangan seperti ini. Tak butuh pengakuan resmi sebagai
seorang anak dari keturunan keluarga keraton!”
“lancang sekali bicaramu, seperti
tidak mengenal sopan santun. Kamu mau berontak, mau menentangku? Hah! ”.
Matanya bertambah merah.
“tidak, aku tidak ingin menentang
ayah. Aku hanya ingin bebas memilih jalan hidupku tanpa ada yang perlu
disembunyikan kepada orang lain. Cukup ibu yang ayah bisa kuasai seperti ini,
aku tak ingin seperti itu karena ini adalah hidupku, aku lelah dengan keadaan
seperti ini!”
“Suhita, kamu benar-benar kurang
ajar! Dasar anak..” sambil menggerakkan tangannya lagi ingin menamparku. Aku
menutup mata.
“mas..sudah mas..cukup, jangan tampar
Suhita lagi” ibu memelukku sambil terisak.
“haah.. kau memang anak yang kurang
ajar Suhita, segeralah pergi dari sini!” ayah berlalu dengan langkah keras ke
luar rumah. Sementara ibu masih terisak memelukku.
Kokok ayam bekisar pagi ini terdengar
berbeda.
Aku melihat wajahku di cermin,
kubiarkan rambutku teruai dan bekas riasan wajah yang tersisa dari tadi malam.
Tanpa ingin memikirkan apapun aku melihat wajahku sendiri lebih dalam.
Tanpa sadar ibu sudah berada di
sampingku. Menunduk.
“nduk.. lekaslah mandi dan sarapan
pagi, ibu sudah berbicara dengan ayah. Kami akan menunggumu di bawah” kemudian
ibu berlalu pergi.
v
Sebuah baliho terpampang besar di
luar gedung pertunjukan seni tari di daerah Ubud Bali. terlihat beberapa
duta-duta besar, segerombolan orang-orang berbatik dan tamu undangan yang
terdiri dari para seniman daerah, nasional dan mancanegara. Sebuah pertunjukan
berbagai tari daerah dalam rangka show kekayaan
budaya Indonesia dalam ranah Internasional. Seorang perempuan berumur 37
tahunan dengan busana kebaya hijau gaya modern mengawali pertunjukan dengan
sebuah gerak tarian tangan singkat dan sedikit bahasa prolog sebagai pengantar
pertunjukan. Kebanyakan penari dalam pertunjukan yang akan ditampilkan
memang hasil bimbingannya. Sebelum
pertunjukan ini sudah sering ia menyelenggarakan pertunjukan tari baik pribadi
maupun bekerjasama dengan berbagai pihak.
Seusai acara dan rentetan acara ramah
tamah ia segera pulang. Ditemani matahari yang hanya tinggal separuh ia
memandang taman bunga dari teras rumahnya.
“Aku benar-benar merasakan hidup
seutuhnya, aku bisa terbang bebas menikmati udara di udara lepas, tentram
rasanya. Bagaimana keadannmu disana bu, kuharap tetap baik?”
Pagi itu, delapan belas tahun yang
lalu ibu memohon pada ayah agar tidak terlampau marah dengan kelakuanku. Ibu
bersujud pada ayah agar membiarkanku menjadi seorang penari, memilih jalan
hidupku sendiri tanpa harus terkekang dan tersiksa dengan lingkungan di
sekitarnya. Ibu juga berkata bahwa ia tak bersedia tetap hidup seperti ini
tanpa menuntut apapun karena sealin aku itu adalah wujud cinta yang bisa
dilakukan oleh ibu pada ayah. Ia tetap rela menjadi istri simpanan. Awalnya aku
berfikir ibu tidak seharusnya merendahkan diri seperti ini pada ayah. Tapi
lambat laun aku mengerti ibu dan aku memang berhubungan darah tapi kami
bukanlah perempuan yang sama. Beliau mempunyai cara tersendiri untuk
mempertahankan harga diri, mengartikan kebahagiaan, mendapat ketentraman,
kemerdekaan dan menentukan hal yang terbaik dalam hidupnya. Menjadi perempuan
gelap yang kuat di dalam sebuah hubungan yang gelap pula. Karena ia sadar
sekali saja sinar datang maka semuanya akan tak karuan. Maka ia tetap berusaha
menggenggam bara di tangan batunya agar tak membakar udara dan dirinya.
Akhirnya ayah membuat keputusan yang akhirnya mengantarkanku pada jalan hidup
yang kuinginkan. Ayah mengizinkan aku
untuk memilih apa yang kuinginkan termasuk menari, tapi dengan catatan tidak di
kota itu tanpa membawa namanya dan tidak datang lagi ke rumah itu. Awalnya aku bingung
dengan hal itu tapi tatapan kuat ibu mendorongku untuk menerima semua
konsekuensi itu. Ibu memelukku erat tanpa berkata apapun di dalam kamar sebelum
aku berkemas, tak pernah kubayangkan sebelumnya jika jalanku akan sejauh ini.
Aku hanya bisa menangis dalam diam. Itulah pelukan hangat yang terakhir kali
kurasakan. Segera aku pergi meninggalkankan kota itu sore harinya. Pergi
ke Bali dan menetap di sebuah sanggar
tari, belajar bertahun-tahun hingga tahun demi tahun membantu menjawab langkah
berat itu. Sedikit demi sedikit dunia ini menyerbakkan harumnya. Kini aku bisa
tersenyum lepas mempersembahkan tarian hidupku pada ibu yang mengajariku
menjadi perempuan yang berani berdiri sendiri dengan kekuatan kedirian seorang
wong putri.
“Mba Suhita, sudah larut ini.. oh iya
besok pesanan bunga melati untuk ditaruh di sanggar belakang akan diantar”
kata-kata made membuatku terkejut jika matahari telah tenggelam.
Malang, 14 Mei 2013
menyibak cerita kembali
Aik Mj
Komentar
Posting Komentar