Eksistensialisme (Filsafat Manusia)
--[Eksistensialisme]--
Setelah
berbicara banyak mengenai Filsafat Antropologi ada baiknya mengupas lebih dalam
mengenai teori yang diungkapkan oleh
para filsuf dari aliran filsafat yang khusus membahas manusia yaitu aliran
eksistensialisme. Aliran eksistensialisme lahir pada sekitar abad ke-19 ketika
teknokrasi dan industrialisasi gencar di masyarakat setelah peristiwa keemasan
terjadi yakni peristiwa Renaisance
dan Aufklarung.
·
Sǿren Kierkegaard (19M)
Abad 19 masehi merupakan abad dimana industrialisasi
dan modernisasi mulai tumbuh. Pada masa itu paham objektivisme sangat
diagung-agungkan dan salah satu tokoh yang mengungkapkan tentang objektivisme
ini adalah Hegel. Banyak orang mengubah gaya hidup mereka karena mengikuti trend yang ada dan mengikuti segala hal yang dianggap baik oleh umum tanpa
memperhatikan karakter individu. Objektivisme (budaya masal) juga mempunyai
anggapan bahwa sesuatu diakui jika banyak orang yang mengakuinya. Dari fenomena ini Soren Kierkegaard merasa
prihatin pada apa yag terjadi karena ia beranggapan bahwa manusia bersifat unik
dan memmpunyai keunikan masing-masing tidak boleh selalu sama dengan yang lain
karena jika seperti itu maka bisa dipastikan manusia tersebut tidak menjadi
dirinya sendiri.
Untuk itu Soren Kierkegaard mengkritisi teori
objektivisme yang dikemukakan oleh Hegel, Soren Kierkegaard beranggapan:
1. Objektivisme
membawa pebgaruh negatif terhadap individu berupa demoralisasi moral
(kemunduran moral), karena individu tersebut selalu mengikuti apa yang diktakan
atau yang dilakukan orang lain dan dia tidak berani berkata atau bertindak dari
dirinya sendiri. Objektivisme menjelma menjadi sebuah budaya masal yang muncul
kepermukaan dan lansung merebak kemana-mana. Kemunculannya patut untuk
dipertentangkan karena tidak ada yang bertanggung jawab dengan semua yang
terjadi. Bahkan budaya masal ini dapat menjadi kekuatan yang berbahaya
menyerang karakter-karakter indivu bahkan mungkin bisa mematikan keteguhan
manusia. Budaya masal juga dapat diilustrasikan sebagai publik yang semu, tidak
mempunyai komitmen yang bisa dipegang. Disisi lain objektivisme bukan hal yang
penting untuk dipermaslahkan karena tidak mempunyai nilai yang fundamental.
2. Objektivisme
menghilangkan interioritas individu sebagai subjek.
Sebagai
seorang manusia sudah sepatutnya hidup dengan kodratinya sendiri namun pada
keadaan saat ini manusia seperti kehilangan perannya sebagai subjek yang nyata.
Budaya masal menjadikan individu tidak megikuti suara hatinya sendiri, banyak
individu yang tidak mengungkapkan kemauannya tapi malah justru mengikuti orang
lain. Adanya fenomena demikian menggambarkan terjadinya krisis identitas
individu. Konsekuensi dari tindakan itu adalah pemikiran dan tindakan individu
semakin dituntut oleh pengaruh dari luar/omongan orang seperi mobil yang harus
mengikuti kemudinya entah itu kemana saja tanpa tau tahu tujuannya sehingga
hidunya seperti rangkaian yang berserakan. Orang seperti ini memahami
peristiwa-peristiwa sebagai cronos (kronologi) saja yang akan mengalir dan
terus berlalu tanpa ada chairos. Chairos yang berarti mengisi kekosongan dengan
hal yang bermanfaat dan menyadari bahwa waktu tidak akan terulang lagi tidak
akan membuang begitu saja pelajaran dan hikmah segala peristiwa di dunia ini
tetapi berhenti untuk merenungi dan mengambil inti sari agar dapat dijadikan
falsafah hidupnya.
3. Objektivisme
merubah pola berkumpul manusia.
Manusia
sebagai mahkluk sosial (social animal) mempunyai hasrat untuk berkumpul dan
berinteraksi dengan manusia lain beserta lingkungannya. Hasrat ini timbul
karena asas gregariousness yakni
sifat dasar manusia yang selalu ingin berinteraksi dengan lingkungannya sebagai
upaya memenuhi kebutuhan sosialnya, bisa kita bayangkan bagaimana jika kita
hidup sendiri tanpa ada orang lain pasti kehdupan tidak akan berjalan normal.
Interaksi yang terjadi dalam suatu wilayah mempunyai berbagai macam pola ada interaksi
individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan
kelompok. Interaksi yang ideal ini seperti tidak terlalu bisa ditemui di era
ini. Pola berkumpul manusia yang awalnya bersifat kekeluargaan menjadi pola
berkumpul asosiasif yang latar belakangnya mempunyai alasan-alasan dari
terbentuknya asosiasi tersebut.
4. Berubahnya
hakikat heroisme (kepahlawanan) dalam
masyarakat.
Heroismes
mempunyai nilai tinggi dan pantas untuk dihormati. Sejak adanya budaya masal
ini masyarakat lebih tertarik pada orang yang mempunyai prestice, keterampilan (skill)
dan pengetahuan pada bidangnya tampa memandang moralitas yang dikandungnya.
Rasa kepahlawanan sama sekali tidak bernilai tinggi dan menjadi hal yang
biasa-biasa saja.
Aliran
eksistensialisme bersifat dinamis bukan statis yang hanya terpaku pada keberadaan individu saja
tetapi selalu berubah mengiringi zaman, hal ini terjadi karena manusia sebagai
pelaku untuk mengakui keberadaan dirinya berwujud individu yang berbeda, unik
serta mempunyai khas masing-masing. Dalam menjelaskan eksistensi manusia dalam
kehidupan Srn Ki membagi manusia ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
·
Estetis
Tingkatan
pertama manusia dalam eksistensi adalah orang estetis dengan ciri-ciri:
a. Orang
estetetis lebih mengutamakan kepuasan baik batin maupun lahir. Orang-orang ini
melakukan tindakan untuk mengejar kepuasan, bagi mereka sebuah tindakan
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan hajat yang dapat memenuhi apa yang
mereka perlukan. Jika sesuatu yang menurut mereka tidak memiliki unsur untuk
pemuas hasrat mereka itu adalah sesuatu yang tidak mempunyai nilai.
b. Tidak
mempunyai komitmen pada realitas konkret. Orang estetis mempunyai intelegensi
dan penalaran tapi tidak mempunyai pengalaman sebagai bentuk otentik pengaplikasiannya
sesungguhnya dalam kehiupan. Mereka banyak membuat teori, usaha, maha karya
tanpa jiwa hanya berlandaskan akal dan penalaran beku. Mereka tidak merasakan
nilai penghayatan jiwa dalam sebuah tindakan. Selain itu orang estetis banyak
berbicara tentang suatu hal tanpa merasakannya sendiri. Mereka hanya
menggembor-gemborkan tanggapan dari satu sisi yakni diri mereka dalam menyikapi
sesuatu baik itu peristiwa, orang lain maupun isu-isu abstrak tetapi tidak
pernah ingin ikut merasakan tentang apa yang terjadi pada orang lain. Bahkan
terkadang oaran-orang seperti ini apatis/ acuh terhadap oaring lain.
c. Orang-orang
ini cenderung mengelak dari antusiasmenya sendiri karena tidak mau masuk ke
dalam sesuatu yang menuntut dan mempunyai komitmen, seperti menikah dan
loyalitas organisasi. Orang estetis tidak akan mengikatkan diri pada standar
moral, aturan, adat tertentu dalam menjalani kehidpannya. Bagi mereka terjun ke
dalam hal yang menuntut sama dengan mengekang kebebasannya sendiri, merasa
terpenjara dan tidak lagi bisa mengejar kepuasan hidupnya secara bebas. Padahal
seseorang yang tidak meningkatkan diri pada suatu standart moral adalah orang
yang hidup dengan jiwa luluh, tanpa kerangka, tidak bermakna dan amburadul. Apa
yang terjadi dalam hidupnya tidak terkontrol karena semua hanya berjalan begitu
saja tanpa ada seuatu yang berarti. Sehingga pada titik tertentu rasa jenuh
akan menghinggapi orang-orang ini dan mungkin mereka merindukan situasi yang
mengikat.
·
Etik
Tahap kedua adalah orang-orang etik. Peralihan dari
orang estetis menjadi etik yaitu ketika seseorang merasakan titik kejenuhan
yang sudah akut pada hidupnya yang tidak beraturan dan dia merasa bahwa dirinya
kosong sehingga orang-orang tersebut merindukan sesuatu yang terikat pada
standart atau norma tertentu. Cirri-ciri orang etik ini antara lain:
a. Mulai
ada keterarahan pada keutamaan-keutamaan moral. Pola pikir mereka mulai
tertarik dengan aturan-aturan yang mereka yakini mempunyai nilai dan bisa
mengarahkan pada sesuatu yang baik. Hal yang menjadi motivasi mereka berani
untuk mencoba masuk kepada standart norma ialah mereka mengharapakan dapat
nilai-nilai yang terkandung dapat mengubah dan mengarahkan tingkah lakunya kea
rah yang lenih baik. Selain mulai tertarik pada moral mereka juga mencoba
mengikatkan diri pada suatu norma dalam masyarakat dan mulai menaruh simpati
pada orang lain. Pada tahap ini orang diarahkan untuk membuang ego atau bahkan
membuang egonya yang sebelumnya mereka junjung tinggi, jika dibuat garis
sederhana yaitu dari individualistik menuju sosialis. Orang-orang etik ini
mulai beranggapan bahwa mementingkan yang lain dari pada lainnya (kepentingan
dirinya) lebih bersahaja. Selain itu mereka juga melakukan rekonsiliasi
(perubahan). Orang pada tahap etik mengharapakan suatu perubahan pada pola
pikir dan tindakannya serta mengharapkan jiwa yang sebelumnya kosong menjadi
terisi. Sehingga mereka berani membuat batu loncatan dari mengedepankan Ego
menjadi peduli terhadap kepentinagn orang lain, Ego-> Others.
b.
Mulai mengisi hidup dangan komitmen
untuk memperjuangkan nilai-nilai etis. Orang etik berusaha memperjuangkan nilai
etisnya secara labih teratur mereka mulai malu jika berbicara second hand, yang tidak dirasaknnya
sendiri. Jika sebelumnya mereka lebih suka untu berbicara muluk tentang sesuatu
maka sebuah tindakan mulai dia jalankan agar dapat berimbas pada kehidupan
sosial di sekitarnya. Pada tahap ini mereka juga berani berkomitmen tanpa
memperhatikan resiko yang akan terjadi, tidak ada pertimbangan ketat untuk
memutuskan masuk ke dalam suatu standart moral atau aturan tertentu.
c.
Hidup tidak lagi tergantung pada
realitas di luar diri. Orang etik membuka diri untuk melihat apa yang terjadi
dari sudut pandang orang lain juga. Bahkan dirinya sudah dapat menghargai
realitas secara nyata bukan hanya spekulasi-spekulasi yang terbentuk di otaknya
saja. Selain itu Jika pada tahap etis mereka cenderung mengedepankan egonya
dalam berlaku maka pada tahap ini integritas data dicapai sehingga dapat
bersatu dengan yang lainnya dan aturan yang ada.
·
Religius
Tahap terakhir dari eksistensialisme manusia menurut
Srn Ki adalah tahap religius yang merupakan puncak dari tahap-tahap sebelumnya.
Cirri-ciri dari orang pada tahap religius ini dapat dilihat dari adanya:
a. Orang
menyerahkan diri secara total pada kekuatan lain dari luar dirinya, bahkan pada
hal yang tidak rasional sekalipun. Penyerahan diri mereka dilakukan dengan
sebuah iman. Iman disini mempunyai definisi meyakini sesuatu sepenuh hati tanpa
bisa merasionalkan atau membuktikannya. Karena hakikat wilayah iman memang
tidak dapat ukur dengan rasio. Orang religius berani berkomitmen dengan hal
yang tidak jelas dan mempercayai ke dua hal yang saling bertentangan
(paradoks), karena mereka mampunyai keyakinan penyerahan yang dilakukan sepenuh
hati ini akan membawa hidup dan jiwa mereka menuju kemerdekaan dan kebahagiaan
yang yata dan abadi. Mereka yakin dibalik semua itu ada kekuatan maha dasyat
yang menyertainya sehingga tidak ada sedikpun keraguan yang muncul untuk
sepenuhnya berserah pada hal yang tidak bisa diketahuinya tadi.
b. Pada
tahap religius motivasi dasar yang ia tanamkan ialah bagaimana dia harus
melakukan tindakan sesuai dengan kehendak Tuhan. Orang religius berusaha untuk
selalu melakukan tindakan praktis sesuai dengan kaidah Tuhan, prilaku beriman
menjadi puncak perealisasian diri sebagai mahluk bertuhan.
c. Iman
dijadikan sebagi komitmen. Komitmen orang religius berlaku absolut mereka
percaya hal sesuatu yang tidak jelas sekaligus paradoksal seperti percaya pada
Tuhan yang maha baik sekaligus maha pembalas perbuatan manusia. Mereka
mempunyai rasa rindu yang amat sangat kepada Tuhan, seakan-akan yang didamba
hanyalah Tuhan semata. Namun terkadang mereka juga khawatir dengan siksa Tuhan,
mereka taku pengabdian dan apa yang dilakukan selama ini merupakan hal tidak
baik di mata Tuhan. Terlepas dari semua itu mereka rela untuk terjun ke dalam
kenyataan gelap karena mempunyai keyakinan akan TuhanNya, inilah paradox
manusia religius.
d. Orang
dalam tahap reiligius berkesanggupan untuk hidup menderita. Orang religius
adalah orang yang tersenyum dalam duka, mereka dapat mensyukuri dan menghargai
hal-hal kecil yang sering dipandang remeh orang lain. Pada tahap ini seseorang
rela untuk hidup melawan arus manusiawi, ia rela kehilangan hal keduniawiannya
mencakup kesenangan, harta, kekuasaan, kedudukan dan lain sebagainya. Jalan
hidup yang dipilih justru merelakan semuanya asal dapat bersatu dengan Tuhan. Tidak
hanya itu orang religius juga menganggap kesedihan dan kesengsaraan hidup
sebagi perayaan agung. Karena mereka mempunyai anggapan kuat bahwa hidup ini
adalah anugrah Tuhan.
v Henry
Bergson
Henry bergson adalah seorang filsuf yang hidup di
abad ke-19. Pemikiran Henry Bergson yang berhaluan eksistensialis muncul karena
reaksi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (masa teknokrasi) pada masa
itu, ia merasa hidup ini telah menjadi mesin semuanya serba teknisi dan dapat
diatur oleh teknologi hingga dirasa hakikat manusia telah hilang. Bahkan mesin
yang mendominasi kehidupan ini menjadikan hidup telah mati. Teorinya tentang
filsafat hidup menjelaskan bahwa stiap mahluk hidup mempunyai filsafatnya
masing-masing.
·
Filsafat Hidup Tumbuhan
Tumbuhan sebagi salah satu mahluk hidup tanpa
kesadaran. Pertumbuhannya disebabkan oleh daya kehidupan yang terus mendorong.
Daya kehidupan itu ada dari waktu masih kecil berupa biji, tunas ataupun bibit
mengiringi pertumbuhannya hingga pada waktu akan mati. Seperti tanaman yang
selalu bergerak mencari sinar matahari, gerak tersebut bisa terjadi karena daya
kehidupan yang dimilikinya.
·
Filsafat Hidup Hewan
Pertumbuhan hewan akan berhenti pada tahap
naluri/insting saja. Naluri atau insting disini diartikan sebagai kemampuan
dasar yang memang dapat melihat situasi dan kondisi yang ada pada
lingkungannya. Insting yang dimilki oleh hewan merupakan kemampuan bawaan yang
ada sejak lahir, selain sebagai pengendali insting juga berguna untuk
memanfaatkan alat-alat organis tertentu dan secara umum insting yang dimilki
oleh hewan sering diarahkan untuk kepentingan kelompok. Seperti induk ayam yang
berusaha melindungi anak ayam dengan menelungkupkan sayap pada anak-anaknya
jika terancam bahaya.
·
Filsafat Hidup Manusia
Pertumbuhan hidup manusia berhenti pada tahap akal.
Akal yang menjadi pembeda paling menonjol dengan mahluk lainnya dijadikan
sebagai puncak dari pertumbuhan rasio manusia. Akal yang berfungsi dalam proses
hidup manusia berkembang menyesuaikan lingkungannya dan sering diorientasikan untuk
kepentingan individu.
Masa teknokrasi akal manusia menjadi hal utama yang
dibutuhkan untuk mengatur semuanya, karena rasio manusia dijadikan tolak ukur
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari fenomena tersebut Henry
Bergson mempunyai beberapa kritik tentang akal manusia. Menurut Henry Bergson
akal hanya berfungsi praktis dan tidak cukup untuk memahami hakikat sesuatu
secara menyeluruh. Perihal lainnya akal hanya bisa fokus pada proses tertentu
dan ini dapat merusak hakikat. Kinerja akal sepert alat potret yang bersifat
sinematografis tidak mampu merekam suatu proses kehidupan secara menyeluruh,
hanya bisa mengambil satu pandangan saja dari realita yang luas. Untuk itu
sebagi penyeimbang dalam memahami hakikat sesuatu secara menyeluruh akal perlu
dibantu oleh intuisi.
Intuisi adalah daya rohani yang digunakan untuk
memahami seluruh realitas. Intuisi bekerja secara dinamis dapat melihat dan
memahami dinamika realita. Hal lain yang merupakan peran dari intuisi adalah
dapat merasakan realita realita yang telah lewat, yang sedang dialami dan yang
akan datang. Beberapa wujud intuisi ini dapat dirasakan pada rasa kuat saling
mencintai, pada dunia seni dan dirasa amat kuat dalam agama.
v M.
Iqbal
Menurut M. Iqbal dalam hidup ini manusia berproses
menuju kesempurnaan. Adapaun tahap-tahapnya adalah:
·
Taat Hukum
Pada tahap ini
seseorang mengetahui, memahami dan melakukan tindakan sesuai dengan hukum yang
mengaturnya. Norma yang ada dapat mengatur hidupnya sehingga tidak melenceng
dari kehendak yang diinginkan oleh aturan.
·
Kontrol Diri
Setelah menjadi orang
yang taat hukum orang ini mulai dapat mengontrol diri agar tidak melanggar
norma yang. Orang ini bisa mendengarkan kata hatinya dalam berprilaku. Selain
itu orang pada tahap kontrol diri berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan
diri dari hal-hal yang bisa menjerumuskannya ke dalam perkara negatif.
·
Wakil Tuhan
Setelah seseorang merasa telah
melalui dua tahapan diatas jika dia benar-benar merefleksikan dirinya menuju
kesempurnaan dan yakin akan kekuatan Tuhan dalam hidup ini maka dia akan hidup
dengan prioritas bersatu dengan Tuhan. Tidak ada fokus lain selain menuju
anugrah Tuhan sehingga dalam kehidupannya ia rela melakukan apa saja dengan
maksud bisa mendapatkan kesatuan jiwa dengan Tuhannya.
Komentar
Posting Komentar